Bercermin pada sejarah 83 tahun lalu. Kongres Perkoempoelan Perempoean Indonesia pada tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta yang diikuti oleh 30 organisasi perempuan dari seluruh Indonesia. Kongres ini menurut pandangan saya adalah bentuk ‘pemberontakan kecil’ kalau tak ingin disebut sebagai ungkapan rasa kecewa terhadap Kongres Pemoeda yang menghasilkan Soempah Pemoeda pada tanggal 28 Oktober 1928. Perempuan pelopor yang menjadi panitia pelaksana Kongres Perempuan Indonesia I 928 dan ikut dalam deklarasi Sumpah Pemuda 1928 antara lain Soejatin, Nyi Hajar Dewantoro, Sitti Sundari dan lain-lain. Merekalah inisiator dan penggerak Kongres Perempuan Pertama 22 Desember 1928.
Organisasi yang mengikuti Kongres di antaranya adalah Putri Indonesia, Wanito Tomo, Wanito Muljo, Wanita Katolik, Aisjiah, Ina Tuni dari Ambon, Jong Islamieten Bond bagian Wanita, Jong Java Meisjeskring, Poetri Boedi Sedjati, Poetri Mardika dan Wanita Taman Siswa.
Pandangan konservatif telah membatasi perjuangan perempuan hanya dalam ruang sempit bernama keluarga, tetapi sesungguhnya pandangan tauhid, paradigma kesetaraan manusia dan keadilan, memberikan peluang kepada perempuan untuk melakukan perjuangan dalam ruang-ruang sosial, budaya, ekonomi, agama dan politik. Perjuangan membangun kebersamaan dan tanpa diskriminasi, menegakkan keadilan dan menghapus segala bentuk kezaliman. Perjuangan keadilan bagi perempuan tentu tidak melulu untuk perempuan, tetapi juga untuk kehidupan yang adil, kedamaian, kesejahteraan bagi semua, perempuan dan laki-laki.
Menurut Nasaruddin Umar dalam kepemimpinan harus mendahulukan sifat rujuliyah/maskuline yang dibisa dimiliki oleh laki-laki atau perempuan daripada sifat nasawiyyah/feminine yang juga bisa dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Sepakat dengan pemikiran Muhammad Abduh dan Abdullah Yusuf Ali, bahwa sifat maskulin adalah qawwam . pemimpin, pengayom, pengelola, penguasa atau penanggung jawab bagi sifat feminin. Jelaslah bahwa kesetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam wilayah politik baik terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Baik sebagai pemimpin maupun rakyat biasa, tidak berdasarkan jenis kelamin, melainkan pada kemashlahatan publik.
Kepemimpinan menuntut kualifikasi keahlian, keterampilan, dan prestasi dari pemimpin. Sehingga kepemimpinan perempuan sama halnya dengan kepemimpinan laki-laki telah memiliki landasan teologis yang afirmatif dan jelas. Perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk terlibat dalam urusan politik. Oya, kembali kepada judul 22 Desember Bukan Hari Ibu : Tapi Hari Perjuangan Perempuan Melawan Ketidakadilan, karena tak semua perempuan adalah seorang ibu, bisa saja dia seorang anak-anak, gadis remaja, perempuan lajang, juga janda. Maka kurang tepat dan jauh dari esensi perjuangan perempuan melawan ketidakadilan, bila Hari Ibu diperingati dengan lomba memasak, berkebaya, atau sesuatu yang dinisbatkan kepada pekerjaan domestik dan diidentikkan kepada tugas perempuan di rumah.
Seharusnya semangat Kongres Pertama itulah yang terus kita perjuangkan. Faktanya, pada era kekinian perempuan dan berbagai permasalahannya seperti kesehatan reproduksi, keselamatan ibu hamil dan melahirkan, HIV/AIDS, poligami, perkawinan di bawah tangan pada kelompok perempuan marjinal, pelacuran, tingkat pendidikan yang rendah, kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, perdagangan perempuan dan anak, upah dan hak-hak pekerja perempuan, akses terhadap kebijakan publik, minimnya perempuan di parlemen dan pemimpin perempuan masih harus diangkat dan dibahas untuk kemudian dicarikan jalan keluarnya.
Penilaian kritis terhadap Pemilu tahun 1999, 2004 dan 2009 belum mencapai hasil optimal dalam hal keterwakilan perempuan di lembaga legislatif baik di tingkat daerah (Provinsi, Kota / Kabupaten) maupun di tingkat pusat. Kita harus terus bersama-sama mendesakkan, melakukan tawar menawar dengan partai politik peserta Pemilu 2014 untuk menempatkan perempuan sebagai calon anggota legislatif potensial dan promosi optimal.
Partai politik harus memiliki kerelaan untuk melakukan tindakan afirmatif dengan prioritas tinggi bagi perempuan. Hal penting lainnya adalah adanya jaminan penegakan hukum yang mempunyai komitmen dan konsistensi dalam menerapkan peraturan non-diskriminatif terhadap perempuan. Di sisi lain, sebenarnya esensi perjuangan perempuan bukan hanya satu-satunya lewat menjadi anggota legislatif. Aktivitas penting lainnya adalah partisipasi politik yang dipahami dengan baik oleh perempuan. Partisipasi politik lebih kepada kegiatan sukarela dari warganegara yang bertindak secara pribadi-pribadi dengan maksud ikut terlibat dalam tata kelola pemerintahan sejak perencanaan sampai pengawasan, serta ikut aktif mempengaruhi pembuatan kebijakan. Partisipasi politik bukan hanua sama banyak secara kuantitas dalam lembaga pengambil kebijakan. Tentu hal ini masih memerlukan banyak kajian, pemberdayaan, dan diskursus setara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H