Sing Waras Ngalah

Apakah pernah mendengar ungkapan Jawa yang menjadi judul artikel ini? Ungkapan yang dalam bahasa Indonesia diartikan menjadi  ”Orang yang Waras, Mengalah” ini cukup sering diungkapkan dalam komunikasi sehari-hari dalam kata yang mungkin berbeda-beda di lingkungan masyarakat kita.

Ungkapan ini pada awalnya bermakna positif, yaitu ketika kita menghadapi situasi konflik atau berhadapan dengan orang yang memiliki perangai yang buruk, kita tidak perlu meresponnya dengan hal yang buruk juga. Ketika berkonflik seringkali mengalah untuk sesuatu yang benar dianggap lebih mulia dibandingkan memaksakan kehendak pribadi.

Namun, sepertinya ungkapan ini sudah mulai tidak relevan jika melihat kondisi masyarakat kebanyakan saat ini. Apalagi jika konteksnya adalah mengalah untuk sesuatu yang salah atau untuk seseorang yang salah. Banyak kasus yang memprihatinkan seperti korupsi, pejabat yang menyalahgunakan wewenang, kecelakaan maut, dan hal-hal lain yang timbul mungkin karena orang-orang ‘waras’ yang mengerti dan menjalani hal-hal baik mengalah karena tidak mau ambil pusing.

Sing waras ngalah seharusnya tidak sama dengan apatis, tidak sama dengan acuh tak acuh dan membiarkan ketidakwarasan merajalela. Sing waras ngalah seharusnya menjadi inspirasi bahwa kebaikan itu harus selalu disampaikan dengan cara yang baik, tetapi bukannya tidak menyampaikan kebaikan. Jika menyampaikan kebaikan dengan cara yang brutal, pesan kebaikan akan hilang yang tinggal hanya kebrutalannya saja, dan kebaikan tidak pernah ada, disinilah seharusnya semangat sing waras ngalah ini hidup.

Sampai kapanpun, kita tidak pernah boleh mengalah atas kejahatan dan pengrusakan hak-hak orang lain. Korupsi, penyalahgunaan wewenang, tindakan anarkis, dan hal-hal yang merugikan banyak orang ini butuh kewarasan untuk memberantasnya. Dan orang waras akan mengalah untuk tidak meniru keburukan dan berkeras untuk mencontohkan kebaikan.