Sewaktu kecil, ketika ditanyakan apa cita-cita saya ketika besar? Pastilah jawaban yang keluar adalah ingin menjadi Dokter. Mungkin kecintaan saya terhadap profesi dokter tumbuh karena saya memiliki dokter gigi favorit masa kecil yang hampir sebulan sekali saya kunjungi, entah mengapa waktu itu gigi saya sering sakit.
Cita-cita ingin menjadi dokter bertahan hingga saya lulus dari sekolah dasar. Masa-masa SMP dan SMA membuat saya mulai menyadari bahwa minat saya tidak lagi pada kedokteran, karena ternyata saya hanya suka pelajaran Kimia dan Matematika, tidak Biologi ataupun Fisika. Dan akhirnya ketika kuliah, saya memantapkan niat untuk mencari hikmah di bidang-bidang keilmuan dari rumpun Sosial.
Tapi kekaguman saya terhadap profesi dokter tidak berhenti, saya sangat salut pada teman-teman saya yang berhasil lulus di Fakultas Kedokteran. Fakultas kedokteran di banyak universitas adalah fakultas yang sangat bergengsi. Menurut saya, mereka yang masuk di Fakultas Kedokteran adalah mereka yang terpilih baik secara intelektual maupun karakter, ditambah sedikit keberuntungan tentunya. Lebih bangga lagi jika mereka lulus dan mengabdi bagi kemanusiaan.
Namun, beberapa hari yang lalu saya terhentak. Tiba-tiba seorang kawan memasang gambar pada akun profil messenger-nya yang berbunyi: "GERAKAN SATU HARI TANPA DOKTER"
Entah mengapa saya masih menganggap ini hanya ungkapan kekesalannya semata-sebagai informasi teman saya ini seorang dokter. Tapi ternyata aksi ini nyata, dan saya semakin percaya bahwa ini bukan main-main, para dokter menuntut. Dan membuat saya memiliki beribu pertanyaan.. ada apa?
Aksi ini ternyata mengundang banyak pro dan kontra, yang paling menarik adalah komentar salah satu teman di jejaring sosial saya yang menganggap aksi ini kurang tepat kemudian ditanggapi dengan (menurut pendapat saya) agak emosional oleh teman saya yang lain yang berprofesi sebagai dokter. Malahan ada istilah “non-dokter” yang keluar di komentarnya untuk menyebut pihak yang bukan dokter, yang dianggap tidak mengerti akar permasalahan yang sedang dihadapi oleh para dokter.
Kejadian ini membuat saya mencari tahu akar dari tercetusnya aksi ini. Ternyata yang paling besar adalah kejadian yang menimpa salah satu dokter yang dianggap menjadi korban kriminalisasi atas tindakan medis yang dilakukannya terhadap seorang pasien. Kemudian juga, isu lain yang diangkat adalah hutang pemerintah kepada rumah sakit (terutama rumah sakit pemerintah) yang membuat para dokter akhirnya memiliki keterbatasan sumber daya dalam melaksanakan tugasnya.
Jika ditanya apa pendapat saya mengenai hal ini? Sebelumnya saya ingin menceritakan kejadian yang terkait dengan hal medis yang mungkin sedikit banyak melatari pendapat saya nantinya.
“Suatu hari sahabat saya datang dengan muka pucat pasi. Kepanikannya timbul karena tiba-tiba ia divonis harus melakukan operasi di saluran hidung karena terjadi radang. Padahal keluhannya waktu itu hanya telinganya yang tiba-tiba sulit untuk mendengar, namun tidak mengeluarkan cairan atau darah. Biaya operasi yang dibutuhkan waktu itu cukup besar, dan kebetulan tidak ada dana yang tersedia untuk itu. Sang dokter hanya memberikan waktu tiga hari setelah diagnosa pertama bagi teman saya untuk datang lagi dan melakukan operasi. Saya menyarankan dia untuk mencari second opinion dari dokter lain, dan walhasil dokter yang lain justru mempertanyakan urgensi operasinya dan hanya memberikan obat dan akan melihat hasil dari pengobatan itu. Alhamdulillah obatnya bekerja dengan baik dan sahabat saya kembali sehat, tanpa operasi.”
Kasus ini mungkin hanya sedikit dari banyak pengalaman medis yang dialami oleh banyak orang yang meminjam istilah teman saya-”non-dokter”. Sahabat saya dalam kasus itu masih beruntung ia memiliki kesempatan untuk meminta pendapat dokter lain. Tapi apa yang terjadi jika hal yang sama menimpa pada pasien yang tinggal di daerah terpencil, dimana jumlah dokter terbatas dan akses informasinya juga terbatas. Mungkin ceritanya akan berbeda, silakan untuk dijawab sendiri.
Menurut saya, profesi dokter adalah profesi yang membutuhkan bukan hanya keahlian mengobati tetapi juga memahami kebutuhan pasien. Untuk itu bagi profesi dokter dibutuhkan banyak keahlian diantaranya adalah kemampuan berkomunikasi (mendengar dan menjelaskan), memiliki empati, dan tentunya memiliki integritas. Sehingga, pasien mendapatkan haknya untuk mendapatkan kejelasan dan penanganan yang baik, dan pada akhirnya juga dokter akan mendapatkan haknya untuk menjadi satu-satunya pelaksana keputusan yang akan menentukan nasib sang pasien. Jika semua prosedur dilaksanakan dan dikomunikasikan dengan baik, jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan misalnya kematian, tidak akan ada saling menyalahkan.
Untuk urusan yang sifatnya politis, seperti alotnya pembiayaan pemerintah dan lain-lain, para dokter sebaiknya menyerahkan urusan ini pada manajemen rumah sakit atau dinas kesehatan saja, tentunya dengan memberikan masukan dan pengawasan dengan cara yang lebih intelek dan manusiawi.
Hidup dan matinya manusia, keputusannya hanya ada di tangan Tuhan. Dokter adalah salah satu alat Tuhan untuk memberikan kesehatan kepada sesama manusia. Penting bagi seluruh dokter mengerti, bahwa profesi ini adalah profesi kemanusiaan, hitungan material mungkin tidak cocok untuk digunakan disini.
Semoga cita-cita masa lampau saya sebagai dokter akan tetap manis di ingatan. Dan semoga, cita-cita para pasien yang membutuhkan kebajikan dari tangan-tangan dokter ini tidaklah menjadi cita-cita yang lampau yang menjadi sulit untuk dicapai saat ini.
Jakarta, 29 November 2013
DKU
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H