Lihat ke Halaman Asli

Sang Kawulo Alit

Diperbarui: 13 Juni 2024   22:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Purnama malam ini begitu cerah. Tapi tidak dengan Ali, hatinya tersambar petir dan mendung hitam pekat menggelayuti pikirannya setelah mendengar perkataan dari
Gus Rizal petang tadi. Ia masih termenung, diam di serambi masjid pesantren. Ia tak
beranjak sedikitpun dari sajadahnya. Diam..


Gus Rizal, seorang anak Kiai pesantren di Bumijawa. Tiada orang yang tak kenal dengannya. Ya, karena ketampanan dan kecerdasannya. Tak ada seorangpun yang berani membantah perkataannya ketika mengolok-olok seseorang. Memang begitulah watak Gus Rizal, bahkan semua santri sudah paham dengan wataknya. Tak terkecuali dengan Muhammad Ali atau yang sering disapa Ali. Persis seperti yang dialami Ali petang tadi sebelum salat magrib, Gus Rizal mengolok-olok dan merendahkan Ali dengan serendah-rendahnya. "Hai Ali..nama panjangmu Kawulo Alit kan?" kata Gus Rizal sambil tersenyum mengejek. "Ku lihat akhir-akhir ini kau sering membaca Alquran, mau jadi santri huffadz ya?" Belum sempat Ali menjawab, Gus Rizal menyambung celotehannya. "Mana mungkin kamu jadi santri huffadz, jadi santri di Pesantren ini saja sudah Alhamdulillah. Kamu itu anak orang nggak punya, otak juga pas-pasan, jangan punya angan-angan ketinggian" kata Gus Rizal sambil tertawa terbahak-bahak. Tapi Ali hanya diam, tak membalas perkataan Gus Rizal. Diam..


Gus Rizal memang merasa paling hebat, melihat dia adalah putra seorang Kiai. Tak perlu bersusah payah menuntut ilmu ia sudah pandai, tak perlu mengulang-ulang hafalan Alquran ia tetap bisa mengaji. Tetapi memang begitulah kenyataannya. Hal inilah yang mendukungnya untuk menyombongkan diri. Berbanding terbalik dengan Ali yang selalu merasa ia adalah orang kecil dan berasal dari keluarga tak mampu, membuat Ali terus bersemangat dan sabar dalam menuntut ilmu di Pesantren. Abah dan Emaknya hanyalah petani tembakau di desa Jeketro. Hasilnya pun pas- pasan. Untuk makan sehari-hari dan membiayai kebutuhan Ali di pesantren saja masih jauh dari kata cukup. Inilah yang menjadikan Ali terus bersemangat dalam belajar, mudarosah, muthola'ah dan berusaha dengan maksimal agar tidak mengecewakan kedua orangtuanya.

Malam itu juga Ali merasa tergugah dengan kata-kata Gus Rizal, ia harus bangkit. Ia akan membuktikan bahwa Ali sang Kawulo Alit ini mampu menjadi yang terbaik, ia akan membuktikan bahwa perkataan Gus Rizal itu keliru. Saat itu juga, Ali tak pernah absen mengaji, mudarosah dan menyetorkan hafalannya kepada Kiai yang ia cintai, yaitu Kiai Usman. Meskipun setiap hari mendapat olokan dari Gus Rizal, ia tetap melangkah demi meraih cita-citanya. Hari demi hari ia lalui dengan penuh semangat dan kesabaran, meski Gus Rizal tetap meluncurkan olokan-olokan kepadanya, tidak membuat Ali patah semangat.


Di tahun pertama, proses tahaffudznya berjalan dengan lancar, kurang dari dua tahun ia sudah mengahafalkan 25 juz. Ali merasa bahagia bisa melampaui target yang ia buat. Tetapi kebahagiaan itu tak bertahan lama, ia mendapat kabar bahwa Abahnya meninggal dunia. Abah yang menjadi sosok motivator dan penyemangat Ali ketika terjatuh, kini telah tiada. Dengan air mata yang berlinangan di kedua pipinya, Ali segera menemui Kiai Usman untuk izin pulang beberapa hari. "Saya dan keluarga turut berduka cita. Yang sabar, le... doakan terus Abahmu, semoga hafalanmu bisa memberikan mahkota dan cahaya bagi Abahmu" tutur Kiai Usman sambil memeluk dan mengelus punggung Ali lembut. Ali pun segera menghapus sisa-sisa air mata dan berusaha tersenyum kepada sang Kiai, mecoba untuk tegar.


Setelah menyelesaikan kepengurusan jenazah Abahnya, Ali memutuskan untuk menetap di rumah selama dua minggu. Ia ingin membantu Emaknya mengurus kebun tembakau di sawah, sekaligus melepas rindu dengan Emak tercinta karena selama mondok ia tak pernah pulang. Tetapi emaknya berkata lain "...kembalilah ke pesantren, le. Rampungkanlah ngajimu. Kemudian segeralah pulang untuk membantu Emak di sini. Maafkan Emak tidak bisa membekalimu apa-apa, hanya doa yang bisa Emak panjatkan". Meski Abah telah tiada, namun nasihat-nasihantnya tetap melekat di sanubari Ali, "Le, ingat, ora ono wong mulyo tanpo rekoso" ujar Abah di ujung senja kala itu.


Dengan berat hati ia melangkah menuju pesantren tercinta, ia tak tega meninggalkan Emaknya sendirian mencari nafkah. Di pesantren, Ali ikut membantu di ndalem Kiai. Dengan tujuan lebih dekat dengan Kiai, ingin khidmah pada Kiai dan juga untuk meringankan biaya hidup di pesantren. Ali memulai hidupnya kembali dengan keadaan yang berbeda. Setiap pagi hingga siang ia membantu menggarap sawah milik Kiai bersama kang-kang santri lainnya.

Kemudian salat zuhur berjamaah, mudarosah dan muthola'ah di masjid hingga petang, begitu seterusnya. Ia hampir tak mengistirahatkan tubuhnya. Setelah salat magrib ia mengulang- ulang hafalan kemudian menyetorkan kepada Kiai Usman. Ini ia lakukan demi ingin segera pulang dan membawa prestasi untuk Emak tercinta. Dan lagi-lagi Gus Rizal mengusiknya, berceloteh panjang lebar dengan kata-kata pedasnya. "Hai Kawulo Alit, rajin kali kau ini, memangnya mau kemana? Kok seperti dikejar-kejar deadline. Mau kawin? Hahaha". Gus Rizal tertawa keras sambil meninggalkan Ali. Ali hanya menatap sekilas, tak menghiraukan celotehan Gus Rizal. Ia tetap fokus dengan hafalannya. Biarkan saja apa yang dikatakan Gus Rizal, karena apapun yang dikatakannya tidak akan membuat semangatku padam. Batin Ali.


Diakhir tahun kedua, sampailah Ali pada puncak perjuangannya. Saat itu Gus Rizal yang lebih dahulu menghafal Alquran justru belum dapat menyelesaikannya. Kecut seketika wajah Gus Rizal karena merasa tersaingi oleh Sang Kawulo Alit. Segera Gus Rizal menghampiri Ali, hendak mengumpat. Tetapi Ali sudah menyiapkan batin, menarik napas dalam-dalam. Gus Rizal menepuk punggung Ali dengan keras dan bersuara lantang. "Heh kawulo alit, boleh saja khatam Alquranmu mendahuluiku. Tapi kau tidak akan mampu mengikuti wisuda kan? Biayanya mahal dapat duit dari mana kamu, hah? Kecuali kalau kamu jadi wisudawan terbaik, yang tidak dipungut biaya sedikitpun. Tapi, itu jelas tidak mungkin Ali, karena untuk hal itu kau tidak bisa menandingiku". Tanpa mendengar balasan dari Ali, ia lantas pergi begitu saja.


Dua purnama telah ia lalui, waktu yang dihabiskan Ali untuk imtihan dan ujian  simaan Alquran berjalan dengan baik dan lancar. Ali berusaha dengan keras dan berdoa agar hasil imtihannya baik, ia tak memiliki obsesi menjadi wisudawan terbaik. Yang terpenting hafalannya baik dari segi tajwid, tartil, kelancaran dan ia mengharap berkah serta rida dari Kiainya.


Tak disangka-sangka, hasil imtihan Ali sangat memuaskan. Dan ia benar-benar dinobatkan sebagai wisudawan terbaik pada tahun ini. Karena kesabarannya, ia mampu melewati rintangan yang sempat menjadi penghambat perjuangannya. Ketika itu, Gus Rizal tertunduk malu, mendengar Kiai Usman memberi wejangan kepada Ali. "Ali, jika seorang putra raja berprestasi itu sudah biasa, tapi jika seorang kawulo alit berprestasi dan hebat, itu baru luar biasa. Saya bangga padamu". Kata Kiai sambil memeluk Ali, seolah-olah tahu bahwa Gus Rizal sering mengolok-olok Ali. Dari kejahuan nampak Gus Rizal menundukkan kepalanya, rasa malu menghujani tubuhnya karena sering meremehkan Ali.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline