Lihat ke Halaman Asli

Dewi Damayanti

TERVERIFIKASI

Blogger

Dengan Sensus Pajak Nasional (SPN), Kita Raih Kemandirian Bangsa

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13933036751490158560

[caption id="attachment_324560" align="aligncenter" width="438" caption="Narasumber: Dedi Rudaedi, Ak. M.Sc."][/caption]

Sensus Pajak Nasional (SPN) telah resmi digelar pada Tanggal 30 September 2011 lalu oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Rencananya program yang digagas oleh Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Fuad Rahmany ini akan dilaksanakan sampai akhir Tahun 2012.

Sensus Pajak ini merupakankegiatan penyisiran dan pencacahan terhadap potensi pajak (wajib pajak dan objek pajak) yang dilakukan oleh DJP dalam rangka ekstensifikasi (menjaring wajib pajak yang belum terdaftar dan objek pajak yang belum dipajaki) serta intensifikasi (optimalisasi pemajakan atas objek pajak yang belum sepenuhnya dipajaki) pada tahun 2011 s.d 2012.

Kegiatan Sensus Pajak ini merupakan perluasan/pengembangan ke arah yang lebih komprehensif dari kegiatan canvassing pajak yang telah dilakukan DJP selama ini. Hal yang melatarbelakangi kegiatan SPN adalah dikarenakannya tingkat kepatuhan masyarakat Indonesia (wajib pajak orang pribadi maupun badan) yang melaporkan SPT masih sangat rendah bila dibandingkan dengan populasi orang pribadi maupun badan usaha.

DJP sendiri menargetkan hasil yang akan dicapai dari pelaksanaan SPN ini berupa: pertama, perluasan basis pajak (WP dan objek pajak). Kedua, peningkatan penerimaan pajak. ketiga, peningkatan jumlah pelaporan SPT Tahunan PPh dan SPT Masa. Keempat, pemutakhiran dan pertukaran data WP.

Ada beberapa hal yang menjadi sasaran SPN, yaitu yang belum ber-NPWP, diberikan NPWP.Yang belum menyerahkan SPT, dihimbau untuk menyerahkan SPT (membayar pajak). Yang sudah membayar namun belum optimal, agar membayar sesuai dengan ketentuan. Tentunya yang utama adalah memperluas basis pemajakan (semua lapisan kelompok dan bidang usaha).

Penasaran dengan kegiatan SPN ini, maka saya pun mencoba menghubungi Bapak Dedi Rudaedi selaku Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Ditjen Pajak. Obrolan santai mengalir di ruang kerjanya. Pertanyaan mengenai SPN dijawabnya dengan gamblang, bahkan beliau banyak memberi penjelasan lebih terkait dengan isu-isu perpajakan terkini terutama reformasi birokrasi di DJP. Penjelasannya runtut dan gampang dipahami. Hal ini mungkin dikarenakan latar belakang beliau yang pernah mengajar di STAN. Pria kelahiran 23 September 1953 ini alumni IIK (Institut Ilmu Keuangan), cikal bakal Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) tahun 1976. S2 Master of Science in Professional Accounting diperolehnya dari University of Hartford Tahun 1986.

Penulis: Apa sesungguhnya maksud diadakannya SPN ini, Pak?

“Perekonomian kita tumbuh dengan bagus. Perkembangan kota dengan sentra-sentra bisnis dan high rise building nya yang meningkat pesat, dan pusat-pusat perbelanjaan yang menjamur menjadi momentum yang tepat bagi DJP untuk melakukan pendataan (ekstensifikasi). Karena SPN itu pada intinya adalah pengumpulan data, sehingga kita bisa memperluas basis pemajakan. Peluang ini yang ditangkap DJP.

Harapan yang ingin dituju suatu saat ada kondisi ideal dimana semua subjek pajak akan terdaftar dan memiliki NPWP. Dan seluruh objek dapat dikenakan pajak, sehingga tidak ada lagi yang lolos. Dan pelaksanaan kewajiban perpajakan itu dilakukan tepat waktu.”

Kebijakan SPN ini diambil demi menjawab amanat besar yang diletakkan di pundak DJP. Untuk tahun ini saja DJP ditargetkan untuk memasukkan penerimaan pajak sebesar Rp. 759 triliun atau yang tertinggi pertumbuhannya sepanjang sejarah.

Sementara sampai dengan April 2011 lalu hanya 466 ribu Wajib Pajak Badan (WP Badan) yang melaporkan SPT Tahunannya. Padahal menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah perusahaan di Indonesia ada 22,3 juta. Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) sendiri hanya 8,5 juta orang yang melaporkan SPT Tahunannya dari 110 juta orang pekerja yang terdaftar. Taruhlah dari 110 juta itu yang penghasilannya di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) ada 50 juta orang, maka berapa banyak potensi pajak yang belum tergali?

Penulis: Jika melihat lokasi-lokasi yang akan dilakukan canvassing, sepertinya yang dituju SPN ini adalah mereka yang berusaha disektor informal, ya Pak ?

“Intinya seluruh subjek pajak terdaftar di basis data, kita tidak memilah-milah apakah itu sektor formal atau informal. Yang jelas setiap individu dan badan usaha yang telah memenuhi kewajiban perpajakan –kewajiban subjektif dan objektif dalam UU Perpajakan- , maka dia hukumnya wajib untuk membayar pajak. Namun pengusaha di sektor informal pun, dia tidak luput dari kewajiban perpajakan jika dia telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.

Bagaimana kita memberi edukasi dan sosialisasi pada segmen-segmen ini memang perlu pendekatan yang berbeda. Kita tidak bisa melakukan pendekatan yang sama, karena kita tidak bisa menyamaratakan seluruh segmentasi Wajib Pajak. Ini yang harus kita pikirkan bersama.

Ke depan DJP akan lebih “menggarap” sektor UKM –mikro kecil- ini. Perlu diberikan pemahaman juga sosialisasi tentang hak dan kewajiban perpajakan mereka. Selain itu perlu dibuat kebijakan yang tidak memberatkan mereka dalam pelaksanaan.”

Menurut Pak Dedi justeru di negara-negara maju sektor informal itu sangat kecil kontribusinya di dalam perekonomian, karena sebagian besar masyarakatnya telah terdaftar sebagai subjek pajak.

Penulis: Bagi sebagian masyarakat mungkin pajak itu rumit.

“Memang ada pemikiran seperti itu, tapi sebetulnya semua itu tergantung persepsi. Ini menyangkut kewajiban kita sebagai warga negara. Karena itu tugas penting dari DJP lah untuk memberikan sosialisasi dan edukasi. Pengalaman saya ketika masih menjadi Kakanwil –Kepala Kantor Wilayah- sebetulnya masyarakat itu bukan karena tidak ingin melakukan kewajiban perpajakannya. Tidak ada resistensi itu. Tapi kadang karena tidak memahami saja. Ada link yang terputus. Kadang ketika seseorang yang diberikan NPWP baru merasa kewajiban perpajakannya telah selesai sampai di situ. Itu semua karena ketidaktahuannya, karena tidak adanya edukasi setelah itu. Padahal setelah memiliki NPWP adakonsekuensi logis bagi pemiliknya, yaitu melaporkan dan membayarkan pajaknya.”

Penulis: Berdasarkanlaporan dari UNDPSaat ini Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada di bawah rata-rata regional wilayah Asia Timur dan Pasifik. Ini menunjukkan tingkat pendidikan mayoritas masyarakat kita masih rendah. Tentunya hal ini berimbas pada tingkat pendidikan Wajib Pajak kita yang juga rendah. Lalu apakah DJP sudah mengakomodasi hal ini, misalnya dengan membuat peraturan pajak yang gampang dimengerti (user friendly)?

“Saat ini Kementerian Keuangan dan DJP sedang menyusun ketentuan peraturan, agar sektor-sektor industri UKM bisa melaksanakan kewajiban perpajakannya lebih sederhana dan mudah. Tetapi bukan berarti karena lebih mudah maka kewajiban DJP untuk melakukan edukasi itu tidak ada. Pembinaan akan tetap diberikan, karena itu merupakan tanggung jawab dari DJP.

Hakekatnya tidak ada peraturan yang sulit. Sepanjang kita sebagai aparat pajak di satu sisi bersemangat memberikan pemahaman tentang perpajakan kepada masyarakat dan masyarakat di sisi yang lain antusias untuk mempelajarinya.”

Pak Dedi beranalogi bagaimana aparat penyuluh pertanian yang terjun ke desa-desa untuk melakukan penyuluhan pertanian diterima masyarakat dengan senang hati. Dan transfer pengetahuan itu bisa berlangsung sukses, tanpa melihat ke jenjang pendidikan. Kenapa semua itu bisa terjadi? Tentu karena masyarakat percaya dan yakin bahwa pengetahuan yangmereka dapatkan nantinya akan bermanfaat bagi kemaslahatan hidup mereka. Mungkin pendekatan seperti ini yang perlu dilakukan aparat pajak.

Penulis: Bukankah pajak yang dibayar masyarakat itu akan kembali ke mereka? Mungkin itu yang perlu terus disosialisasikan?

“Benar. Karena salah satu pilar penting negara agar dapat berdiri tegak adalah dengan adanya pajak. Jika diibaratkan pajak itu bagaimana kita menghirup udara. Udara sebagai sumber kehidupan. Bayangkan kehidupan tanpa itu, maka eksistensi itu takkan ada. Jadi tanpa pajak, eksistensi negara ini tidak akan tegak.Karena itu seluruh anak bangsa harusnya konsen ke sana.

Pemahaman itu perlu diberikan kepada masyarakat agar mereka tidak resisten dan apriori terhadap pajak. Sebaliknya secara internal bagi DJP sendiri, para aparat pajak perlu menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka adalah aparat-aparat yang memiliki values. Memiliki integritas, dan jiwa panutan. Sehingga masyarakat akan percaya dan respek terhadap aparat. Jika sudah respek dan percaya, maka masyarakat akan patuh dan melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan sukarela.

Saya melihat ada dua sisi, bagaimana kita melakukan sosialiasasi dan edukasi ke masyarakat secara berkesinambungan, terus menerus. Sementara ke dalamnya agar dilakukan pembenahan terhadap aparat. Dan ini telah dilakukan.”

Reformasi birokrasi di DJP telah dimulai sejak tahun 2002 silam dengan konsep kantor modernnya yang pertama yaitu Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar/Large Tax Office (LTO). Akhir tahun 2008 DJP berhasil memodernisasikan seluruh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang tersebar di seluruh penjuru nusantara

Reformasi birokrasi ini menanamkan nilai-nilai baru bagi seluruh pegawainya: Integritas, Profesionalisme, Sinergi, Pelayananan, dan Kesempurnaan. Dan semua itu tak berhenti di slogan. Ada kebijakan stick and carrot: pemberian reward dan punishment. Kebijakan ini diberikan tanpa pandang bulu.

Berdasarkan catatan Departemen Keuangan pada periode 2006 – 2009 sebanyak 546 pegawai DJP dikenai sanksi karena pelanggaran disiplin kehadiran dan 482 dikenai sanksi karena melanggar integritas.

Penulis: Semua itu bisa diraih dengan mengamalkan nilai-nilai reformasi, begitu Pak?

“Reformasi itu hanya bungkusnya. Esensinya adalah bagaimana 33 ribu pegawai pajak itu merubah pola pikir, merubah mindset. Karena itu perlu adanya gerakan bersama, untuk mengamankan nilai-nilai reformasi.

Karena itu reward dan punishment itu harus berjalan.”

Penulis: Masalahnya Pak, masyarakat banyak yang belum tahu jika DJP telah melakukan reformasi.

“Karena kita tidak pernah mensyiarkan itu. Karena itu tugas dari 33 ribu pegawai DJP untuk menggaungkan perubahan itu. Jangan sampai SPN ini menjadi momen simbol, hilang begitu saja karena aspek-aspek yang lain tidak kita benahi.”

Penulis: Kembali ke SPN. Adakah instansi lain yang telah digandeng DJP untuk menyukseskan program ini?

“Kita melakukan pendekatan secara formal dan informal dengan instansi lain. Secara formal telah dilakukan penandatanganan naskah kerjasama dengan berbagai instansi di tingkat kementerian, di propinsi dengan dinas-dinas koperasi dan UKM kabupaten-kota.”

Penulis : Apa tindak lanjut yang akan dilakukan terhadap data-data yang telah diperoleh dari SPN?

“Data hasil SPN yang tertuang dalam Formulir Isian Sensus (FIS) akan dientry dalam sistem data yang kita miliki. Data-data dari FIS itu akan digabung dengan data-data lain yang relevan, sehingga bisa di-match. Dari situ akan dilihat data-data yang memungkinkan untuk ditindaklanjuti, seperti pemberian NPWP bagi yang belum memiliki NPWP, himbauan untuk melaporkan SPT bagi yang belum melaporkannya, dsbnya.”

Penulis: Mungkin ada pesan-pesan Bapak untuk masyarakat kita agar tidak apriori terhadap SPN ini?

“SPN itu hanya kegiatan pengumpulan data mengenai kewajiban perpajakan dari setiap subjek pajak di seluruh Indonesia, agar kita bisa memetakan dan menggali potensi-potensi pajak yang belum dipajaki. Diharapkan masyarakat berpartisipasi aktif dan berkontribusi positif. Karena persoalan pajak itu bukan hanya persoalan DJP saja, tetapi persoalan seluruh bangsa. Karena jika pajak ini tidak berhasil maka pilar negara ini akan roboh. Karena pajak itu dari kita, oleh kita, dan untuk kita.”

Meninggalkan ruangan Pak Dedi pagi itu hati saya telah dipenuhi tekad baru. Kata-kata itu memantik semangatku. Bahwa: 33 ribu pegawai DJP adalah penyuluh, 33 ribu pegawai adalah humas dan 33 ribu pegawai adalahfront liner-front liner yang menyuarakan nilai-nilai positif di DJP. Yups, saya adalah salah satu dari penyuluh itu, juga humas dan front liner yang akan menyuarakan nilai-nilai kebenaran yang akan dipegang teguh di DJP kini.

L22 Gatsu, 29112011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline