Lihat ke Halaman Asli

Dewi Damayanti

TERVERIFIKASI

Blogger

Lelaki dilamun Ombak

Diperbarui: 12 Agustus 2016   11:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam itu langit pekat. Awan bagai selubung jubah raksasa, bergumpal-gumpal menutupi langit. Gemintang enggan nampak. Bulan pun menggeliat malas di peraduannya. Hanya deburan ombak menggapai bibir pantai yang memecah kesunyian malam. Dan gesekan nyiur berirama bagaikan pentas sebuah orkestra. Itulah malam di sebuah pulau di barat Samudra Hindia ketika angin muson mulai datang.

Sebagian besar lelaki di pulau itu yang menggantungkan hidupnya di laut, tak punya nyali untuk menyorongkan jukungnya melaut. Tapi lelaki ringkih dengan sarung tergantung di bahu itu, benar-benar nekad. Tak digubrisnya ketika beberapa orang yang berpapasan dengannya mengingatkannya sebentar lagi badai pasti turun. Lebih dahsyat badai di rumahku, gumamnya. 

Cahaya lampu petromaks di haluan jukung itu bagai kerlip kunang-kunang, ketika memantul di permukaan laut. Kecipak dayung membelah ombak, membawa jukung terdorong ke depan. Dia segera mengikat sarungnya ke pinggang, sambil meludah ke laut. Cuuh, cairan kental berbau anyir darah segera di telan ombak.

Laut telah merampas kekuatannya. Bertahun-tahun penyakit TBC telah menggerogoti kesehatannya. Bukan tanpa upaya pengobatan, dia bolak-balik menyambangi satu-satunya bidan di puskesmas desa. Bidan yang lebih sering absen dari tugasnya. Dokter? Dia makhluk langka di desanya. Hanya beberapa kali dalam setahun menyambangi desa. Berkah dari langit itu baru turun bagi penduduk pulau ketika ada dokter PTT yang bersedia di tempatkan di sana. Seingatnya berkah itu baru terjadi dua kali.

Dia pernah berobat pada dokter cantik lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Negeri yang sedang PTT di desanya. Kata sang dokter, dia harus berobat enam bulan maraton. Enam bulan, ternganga dia mendengarnya. Untuk ongkos pengobatan saja dia lebih sering menawarkan ikan segar hasil tangkapannya. Itupun harus menyumbat telinga, mengabaikan cerocos isterinya. 

Kau buang saja ikanmu ke laut, daripada kau buang ke anak orang kaya itu sungutnya. Dia tak paham, tak adakah lagi sisa cinta di hati isterinya itu? Tak kasiankah dia melihat tubuh suaminya semakin ringkih, dengan nafas tersengal-sengal dari hari ke hari? Hanya wajah keenam anak-anaknya yang masih kecil yang memberinya energi untuk bertahan.

Dia kadang ingin protes pada Tuhan, kenapa hidup seolah begitu tak adil jika ditimbang dengan logika. Di satu sisi Dia ciptakan wanita berwajah menawan dengan tutur kata terjaga. Sementara isterinya? Janganlah ditanya rupa, apalagi kata-kata yang terlontar dari mulut nyinyirnya.

“Ikan-ikan itu tak akan menyambangi piringmu, Zailan. Harus dipancing dengan kail, baru dia datang,” ujarnya ketus.

Dia biasa memanggil suaminya dengan nama, tanpa embel-embel: Bang, Ayah, atau Pak seperti kebiasaan perempuan-perempuan lain di pulau itu. Jika ditanya kenapa, itu gunanya orangtuamu memberimu nama dalihnya selalu.

Kini kata-kata meluncur dari mulutnya tanpa henti, bagai lokomotif kereta. Sementara tangannya sibuk membagi ikan goreng yang tersisa pada enam anaknya yang menyambut dengan lahap.Suaminya sendiri harus rela menerima lauk sambal dan rebusan daun singkong sisa kemaren sore.

“Kau lihat mau dikasih makan apa mulut-mulut kecil itu besok? Pergilah kau melaut nanti malam, menurut Datuk rejekimu akan lancar minggu ini.”

Arrgh…laki-laki ringkih itu cuma sanggup mendelik jengkel, lagi-lagi kata-kata Datuk yang jadi sandaran. Laki-laki berambut putih, dengan cincin batu akik besar melingkar di jari tengahnya itu bagai sosok Sang Dewa bagi isterinya. Isterinya tak segan merogoh sisa-sisa koceknya demi mendengar ramalan si dukun desa. Dukun yang ramalannya lebih sering meleset ketimbang nyata. Tapi isterinya tak pernah jera membeli mimpi itu.


Datuk Sematu begitu penduduk pulau biasa memanggil sang dukun. Asal muasal Sematu adalah nama sebuah gua besar berlubang yang terkenal angker di tepi pantai. Menurut cerita, gua itu terkenal angker karena tempat jin beranak pinak hingga membentuk sebuah kerajaan jin. Hanya orang-orang tertentu yang berani memasuki gua, salah satunya Datuk. Dia sering wira-wiri ke sana dan bersahabat dengan penghuninya, hingga punya kekuatan supranatural. Tak sedikit penduduk pulau itu yang meyakini kemampuan Datuk, walaupun mayoritas mengaku beriman pada Risalah Rasullullah. Kemiskinan kadang bisa menggerus iman. Iman tanpa pengetahuan, bak malam tanpa pelita memang.

Tapi tidak bagi Zailan. Dia tak peduli pada Datuk. Baginya keberadaan Datuk lebih sering mengusik eksistensinya sebagai kepala keluarga. Karena kata-kata Sang Datuk lebih didengar isterinya.

“Tapi badai akan turun, Mak,”sanggahnya lemah. Dia selalu memanggil isterinya seperti anak-anaknya memanggil ibu mereka…Mamak. Tapi panggilan itu tak sanggup merekatkan dua hati yang mulai berjarak.

“Badai itu di langit bukan di laut. Janganlah kau berdalih karena malas. Entah kenapa aku diberi suami pemalas?” tanyanya lebih berupa sindiran. Dia menarik ke atas sarung pudarnya yang melorot, dan mengikat asal-asalan di pinggangnya yang tertimbun lemak. Lemak itu menyembul sana-sini dari balik daster butut, menyerupai punuk onta.

“Kata Datuk minggu ini hari baikmu,” suaranya sedikit melunak.

“Kenapa kau tidak bersuamikan Datuk itu saja?” jengkel mulai merambat di hati lelaki ringkih.

“Apa kau bilang? Aku tak akan sengsara jika bersuamikan dia, tau kau?!” oktaf suaranya mulai meninggi.

“Tapi hidup Datuk tak lebih baik dari kita, penjual mimpi,”tangkisnya tak mau kalah.

Namun dia bergegas bangkit dari kursi reyot yang berderit-derit ditinggalkan penghuninya. Dia tak ingin centong nasi di tangan isterinya itu melayang dan tersesat mengenai salah satu anaknya. Wajah keenam anak itu datar saja menyaksikan Bapak mereka melangkah terbirit. Bagi mereka pertengkaran kedua orangtua mereka adalah pemandangan usang, sinetron yang terus berlanjut.


****

Lelaki itu terus mengulur tali pancingnya. Tak satu pun ikan singgah di kailnya. Mungkin ikan pun enggan muncul, karena angin berdesau-desau mendinginkan suhu air laut. Langit pun semakin kelam, sekelam hatinya.

Sungguh, dia tak punya teori bagaimana mungkin anak-anaknya itu lahir beruntun dari dua hati yang mulai kering kasih sayang. Mungkin hanya hukum alam yang bekerja, ketika sperma bertemu dengan ovum, maka zigot itu akan terus berkembang. Tak peduli apakah kehadiran mereka ke dunia memang ditunggu atau tidak.

Lelaki itu masih terus dalam lamunannya. Baginya laut tempat membuang segala resah. Segala sampah kehidupan sanggup ditelannya, maka apatah arti sebuah keluh kesah? Dia lengah ketika sebuah ombak besar menghantam jukungnya, mematahkan kedua sayapnya danmembalikkan badan perahu kecil itu. Zailan terbawa arus ke dasar laut. Namun kemampuannya berenang sejak kecil, membuat tubuhnya mengapung ke permukaan kembali. Sebelah tangannya hampir menyentuh bibir jukung,ketika sebuah ombak besar kembali menghantam. Hantaman kali ini tak hanya menjauhkannya dari jukung, tapi memporak porandakan perahu.

Lelaki itu masih sanggup bertahan, walaupun megap-megap menarik nafas. Namun fisik yang lemah karena digerogoti penyakit menahun, akhirnya tak sanggup mengalirkan tenaga untuk bertahan ketika ombak besar kembali menggulung. Dia terhanyut ke dalam pusaran ombak, tergulung, dan hilang. Sempat terdengar seruan lemah, tapi setelah itu lenyap.


****

Esok paginya penduduk desa gempar perahu Zailan ditemukan terdampar di balik pulau, pecah berkeping-keping.

Respon isterinya saat diberitahu datar saja. Yang dia tanyakan pertama apakah suaminya pulang membawa ikan.

Perahu-perahu segera dikerahkan untuk mencari sosok lelaki itu. Namun hingga semburat merah di kaki langit merona pencarian itu tetap tanpa hasil. Hingga keesokan harinya jasad nelayan itu belum juga ditemukan.

Sang isteri pun mulai gusar. Dia gelisah beras untuk ditanak mulai tak ada, apalagi lauk yang bisa disantap.


****

Berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan sejak karamnya jukung Zailan, penduduk pulau mulai tak asing melihat sinar pelita berpendar di pantai ketika malam tiba. Sinar itu terlihat menyusuri bibir pantai, kemudian mendekati gugusan ombak, lantas hilang di ujung pulau…tempat gua Sematu berada.

“Perempuan itu sudah sinting rupanya. Karena kata Datuk, Zailan akan kembali,” komentar itu biasa terlontar di warung-warung makan pinggir pantai. Kisah Zailan adalah sebuah ironi bagi mereka.

Sementara keenam anak Zailan seringkali mengais rejeki dari rasa kasihan tetangga-tetangga mereka, ibu mereka mulai tenggelam dengan dunia metafisisnya. Kadang penduduk desa melihat perempuan itu mendatangi Gua Sematu bersama Sang Datuk. Mengabaikan tatapan ganjil penduduk desa padanya. Entah masa depan apa yang telah diterawang Datuk terhampar untuknya.


Kebon Jeruk, Agustus 2010




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline