Lihat ke Halaman Asli

Dewi Damayanti

TERVERIFIKASI

Blogger

Istana Pasir di Ditjen Pajak

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_222263" align="alignright" width="450" caption="sumber: Google.com"][/caption]

Kaki-kaki kecil telanjang itu berlari ringan menyusuri bibir pantai. Dengan kedua telapak tangannya dia berusaha menggendong segenggam pasir basah, kemudian membentuk gundukan-gundukan kecil di tempat yang agak jauh dari gugusan ombak. Dia kembali mendekati gugusan ombak, menciduk pasir basah dan membentuk gundukan-gundukan kembali. Demikian berulang-ulang, hingga dirasanya pasir basah itu telah mencukupi. Dia dan teman-temannya tampaknya menikmati betul aktivitas sore itu. Beberapa temannya sedang asyik berenang, beberapa lagi asyik berguling-guling di pantai. Tambahan nuansa pantai sore itu begitu nyaman. Angin semilir membelai pucuk-pucuk nyiur, bergoyang riang seirama, menghembus permukaan laut yang biru jernih dengan riak-riak kecilnya. Karang-karang dan rumput laut dengan biota-biota lautnya bagai iring-iringan raja dengan hulubalangnya terlihat jelas dari permukaan. Amboi…ketika keseimbangan alam terjaga maka harmoni pun tercipta.

Anak kecil itu sekarang mengagumi hasil karyanya. Di cakrawalanya yang terbatas, bangunan itu menyerupai sebuah istana. Yups…kastil cantik dengan pagar kokoh yang mengelilinginya tempat bersemayam para raja. Namun sekejap kemudian, byurr… gulungan ombak menghancurkan istana impiannya itu. Ombak yang datang tak hanya menyapu istananya, bahkan mungkin telah membawa pasirnya hingga ke dasar laut. Dia tertegun. Ternyata bangunan yang didirikannya bukan saja tidak kokoh, tetapi juga labil, dan gampang dihancurkan. Hari ini ombak, esok bisa jadi dengan tiupan angin, atau derai hujan istana pasir itu akan porak poranda.

Ketika cakrawalanya mulai terbentang dia akhirnya tahu bahwa untuk mendirikan sebuah bangunan kokoh diperlukan pondasi yang kuat. Kuat di sini bukan berarti mahal. Untuk mendirikan sebuah rumah, tidak harus dengan pondasi cakar ayam agar menjadi kokoh misalnya. Namun diselaraskan dengan lingkungan. Tengoklah rumah adat Minangkabau.Dibangun dengan pilar-pilar kayu besar sebagai penyangga, dan dinding-dinding yang juga kayu maka rumah adat yang dikenal sebagai Rumah Gadang ini memang dirancang untuk daerah rawan gempa seperti Sumatera Barat.

Jika boleh beranalogi maka hidup manusia itu tidak beda jauh dengan dengan konsep rancang bangunan tadi. Memperkokoh benteng pertahanan diri dari dalam agar bisa hidup selaras dengan lingkungan. Selaras berarti dia ikut memelihara keseimbangan, tidak merusak sebuah komunitas. Tidak mengambil yang bukan haknya. Karena jika dia mengambil yang bukan haknya, keseimbangan seluruh komunitas akan terganggu.

Yups…lihatlah ketika nafsu yang merajai, dia akan merusak seluruh tatanan, mengganggu keseimbangan yang sudah tercipta. Dia hanya membangun sebuah istana pasir. Dalam sekejap dia memang dapat membangun sebuah kemegahan, namun itu fana.Tak akan abadi,

Perjalanan waktu telah menghantarkan si anak pantai itu duduk dalam sebuah instansi besar: Direktorat Jenderal Pajak. Dan dia sedang resah. Resah, ketika seluruh mata sekarang mengukur setiap jengkal ladangnya. Ketika telinga-telinga awas menyaring setiap kata…karena itu adalah berita. Mahligai yang akhir-akhir ini cukup membuatnya bangga kini sedang jadi primadona berita. Dan berita itu telah menodai lembar-lembaran putih yang baru dimulai.

Dia resah, jika termometer tidak lagi bekerja. Maka alangkah panasnya, ketika suhu hanya diukur dari komentar-komentar pedas yang akhir-akhir ini terlontar…

“Ayo kita boikot bayar pajak,” teriak mereka.

“Untuk apa bayar pajak, jika hanya untuk dikorupsi,” teriak yang lainnya.

Dia termenung. Wajah-wajah berkelabat. Wajah-wajah penuh semangat dan dedikasi dari rekan-rekannya yang pro reformasi. Dia mulai berandai-andai. Seandainya suaranya masih didengar, dia ingin bersuara…

“Lihatlah barisan itu. Berdiri kokoh menantang surya. Hidup mereka penuh perjuangan. Perjuangan melawan godaan, perjuangan menghapus sebuah stigma yang terlanjur melekat. Perjuangan tahun demi tahun hidup dalam kesederhanaan. Jika saat ini mereka mulai bisa menikmati sedikit fasilitas itu, semua karena remunirasi yang telah dikucurkan. Bukan karena aktivitas sulap itu. Tidakkah itu wajar sebagai sebuah penghargaan?”

Dia merenung, membawanya memasuki lorong waktu. Ketika bertahun-tahun silam, beberapa tahun setelah mengawali kariernya di instansi ini, teman satu almamaternya bercanda ringan. Maksud temannya itu bercanda atau serius, valid atau tidak yang dikatakannya, baginya saat itu semua terasa absurd…

“Kayaknya lu salah satu dari angkatan kita yang belum sukses deh.”

Eits…tunggu dulu dalam hatinya saat. Jika itu ukurannya kasat mata –materi- mungkin ya akunya. Namun jika itu ukurannya sesuatu yang abstrak –kebahagiaan batin- misalnya, siapa yang sanggup mengukurnya?

Namun jika hidup telah memberi lebih dari yang kita impikan, maka apatah lagi yang bisa membuat kita merasa kurang? Dia teringat beratus kilometer dia menempuh ibukota, memakan waktu sehari-semalam, dengan transportasi yang masih terputus-putus saat itu, demi sebuah mimpi sederhana. Untuk memperoleh fasilitas pendidikan yang lebih layak. Tidakkah apa yang diraihnya kini melewati ekspektasinya semula? Mungkin teorinya kini terasa absurd, jika dia menarik kesimpulan bahwa: mereka yang berlatar belakang hidup sederhana, cenderung nrimo.

Tunggu dulu, dengar suara-suara panas itu. Lihatlah kasus yang sekarang mencuat, tidakkah dia dari latar belakang sederhana? Tapi kenapa? Ya, kenapa? Mungkin jawabnya: pondasinya tak cukup kuat untuk menopang nafsunya. Mungkin jika ditilik dari konsep rancang bangunan tadi, dia perlu pondasi cakar ayam untuk istananya agar tak mudah goyah dan roboh. Entahlah mungkin asumsinya keliru. Yang jelas dia hanya sekedar berkontemplasi, untuk meredam keresahannya.

Kebon Jeruk, Maret 2010

Sumber: hot news

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline