Sunni berasal dari kata Sunnah yang berarti tradisi. Ahlu Sunnah berarti orang-orang yang mengikuti tradisi Nabi Muhammad Saw. Mereka mengikuti tradisi-tradisi yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, baik secara lisan ataupun amalan.
Ahlu Sunnah merupakan julukan yang khusus ditujukan untuk pengikut yang berpegangang teguh pada sunnah Nabi Muhammad sebagai arus utama, dan juga digunakan untuk menunjukkan siapa saja yang mengikuti 4 madzhab (Madzhab Hambali, Madzhab Hanafi, Madzhab Syafi'i, Madzhab Maliki). Ahlu Sunnah juga ditujukan kepada kelompok yang menerima kepemimpinan Khalifah Abu Bakar dan seterusnya sebagai pemimpin, baik agama maupun negara setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw pada tahun 632 M. Sedangakan orang-orang yang bersikeras menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib sebagai satu-satunya khalifah yang berhak dan keturunannya disebut dengan Syi'ah.
Sedangkan Syi'ah berarti pengikut atau pendukung ynag mengarah pada dukungan terhadap seseorang atau kelompok tertentu. Julukan ini pertama kali disebutkan pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad pada pengikut Ali. Namun secara politik muncul pada masa wafatnya Nabi Muhammad atau ketika pembaiatan Abu Bakar sebagai khalifah penerus Nabi Muhammad. Mereka berpendapat bahwa Ali lebih berhak menjadi khalifah daripada Abu Bakar karena memiliki pengetahuan paling luas tentang hukum-hukum islam. Syi'ah berkembang pesat ketika masa kekhalifahan Ali. Namun dalam kalangan Syi'ah sendiri juga terdapat perbedaan sikap dalam menetapkan posisi Ali dan keturunannya. Terbagi menjadi kalangan ekstrim dan kalangan moderat. Kalangan moderat yaitu orang-orang yang hanya terbatas mengutamakan Ali tetapi tidak megkafirkan yang lain, dan tidak pula memandang Ali sebagai orang yang lebih utama dari manusia yang lain, sedangkan kalangan ekstrim ialah sebaliknya sangat "mendewakan" Ali.
Pemikiran politik Sunni bahwa pemerintahan ialah manusia bekerja sama untuk mearih tujuan hidup sesuai syari'at yang akan menghasilkan kebaikan bagi mereka baik kehidupan dunia maupun akhirat. Namun aliran Sunni masih membatasi dalam pemilihan seseorang sebagai khalifah harus laki-laki dan memiliki garis keturunan dari suku Quraisy atau dari kelompok mereka sendiri.
Pemikiran politik Syi'ah menekankan bahwa keturunan Nabi Muhammad sudah dilegitimasi untuk memegang kepemimpinan bagi umat islam karena memiliki kemampuan keilmuan yang tinggi. Syi'ah meyakini bahwa kepemimpinan merupakan warisan secara turun-temurun dari Nabi Muhammad kecuali dilakukan penetapan atau penunjukan. Bagi Syi'ah isu terpenting yaitu loyalitas terhadap Ali dan penegasan bahwa hak khalifah hanya dapat kepada keluarga Ali. Hal ini mengarah pada gerakan politis melawan Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah yang terjadi pada abad 7 dan abad 8 M.
Akar dari konflik yang terjadi antara Sunni dan Syi'ah ialah sama-sama saling memusuhi dan saling mengakfirkan satu sama lain. Syi'ah menggap bahwa Sunni adalah musuh yang sebenarnya karena tidak mengakui adanya konsep imamah yang dianut Syi'ah. Begitu juga sebaliknya, Sunni menganggap kafir Syi'ah karena menganggap bahwa Ali memiliki sifat ketuhanan sehingga Syi'ah menuhankan Ali.
Isu perbedaan politik yang terjadi diantara umat Islam sebenarnya sudah sangat lama. Tetapi pada era modern isu itu terus dihidupkan kembali. Pada masa kini isu tersebut semakin dihidupkan dimana-mana semenjak adanya Revolusi Islam di Iran pada tahun 1979. Revolusi Islam Iran juga disebut sebagai pemberontakan rakyat terbesar dalam sejarah Islam.
Revolusi tersebut mengangkat isu-isu yang terkait dengan kebangkitan kontemporer seperti keyakinan, kekuasaan, politik, dan kebudayaan. Dilakukan penekanan pada penolakan terhadap budaya pembaratan, pemerintah yang otoriter, dan pembagian kekayaan yang tidak merata. Pasca terjadinya revolusi pada tahun 1979, perpolitikan di Iran tidak dapat terlepas dari agama dan politik. Selain itu doktrin tentang imamah selalu dilancarkan oleh Khumaeni sejak tahun 1970an. Setelah ia berhasil menumbangkan Dinasti Pahlevi yang berkuasa sebelumnya, kemudian mendirikan Republikan Islam Iran.
Iran dan Irak pada tahun 1980-1988 mengalami perang yang disebut dengan Perang Teluk. Perang ini tidak telepas dari pengaruh Sunni dan Syi'ah. Hal ini juga didasari oleh kekhawatiran Saddam Hussein dan negara-negara Sunni yang berada dibawah kekuasannya terhadap perlawanan Syi'ah yang dibawa oleh Khumaeni dalam Revolusi Islam Iran. Akan tetapi konflik kedua negara tersebut juga didasari oleh perbatasan negara, dimana diawali dengan Irak yang melewati perbatasan. Namun sebenarnya konflik ini sudah berjalan cukup lama, dimana pada tahun 1975 Iran-Irak membuat kesepakatan untuk membagi jalur pelayaran untuk kedua negara tersebut. Tetapi kemudian perjanjian tersebut dicabut oleh sebelah pihak yakni Irak ketika Iran mengalami Revolusi Islam. Irak menuduh adanya penghasutan oleh pemerintah revolusioner Islam Iran kepada masyarakat Syi'ah Irak supaya melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Saddam Hussein. Hal ini mengakibatkan peperangan yang terjadi selama 8 tahun lamanya dari 22 September 1980 sampai 20 Agustus 1988.
Konflik yang berlarut-arut terjadi diantara Sunni dan Syi'ah ikut mewarnai dalam dunia politik di kawasan Timur Tengah pasca The Arab Spring. Hal ini dilihat dari konflik Suriah yang tak kunjung selesai. Dalam konflik Suriah ada campur tangan negara-negara yang memiliki pengaruh besar seperti Amerika Serikat dan sekutunya yang menggandeng negara Sunni seperti Saudi Arabia dan Uni Soviet dan China menggandeng Iran yang mayoritas berpenduduk Syi'ah. Hubungan Iran dan Saudi Arabia sudah sejak lama memiliki masalah baik dalam bidang politik, strategis, maupun ideologis. Iran dan Saudi Arabia berebut pengaruh dan supremasi di Timur Tengah dan Teluk.