Lihat ke Halaman Asli

dewi anggraini padmaningtyas

Bidan, Mahasiswa Magister Kebidanan

Bukan Sekadar Angka: Dampak Menyedihkan di Balik Pernikahan Anak

Diperbarui: 23 Juni 2024   01:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ketika mendengar tentang pernikahan anak, sebagian orang mungkin akan membayangkan sebuah statistik dengan angka-angka yang mencerminkan tingkat prevalensi di berbagai wilayah, usia, angka putus sekolah maupun dampak ekonomi. Namun, dibalik setiap angka tersebut terdapat kehidupan nyata, dengan kisah-kisah yang menyentuh dan terkadang tragis dari anak-anak yang seharusnya masih memiliki kesempatan menggapai cita-cita dan merajut masa depan mereka.

Pernikahan anak seringkali terjadi karena terpaksa menikah akibat kehamilan yang tidak diinginkan. Meskipun usianya masih sangat muda, anak-anak ini harus menghadapi kenyataan pahit bahwa mereka harus putus sekolah. Mereka harus mengurus rumah tangga dan seringkali menghadapi tekanan dari keluarga karena masalah ekonomi. Bahkan, tak jarang mereka mendapatkan perlakuan buruk, baik secara verbal maupun non-verbal, dari suaminya dalam bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ketidaksiapan sebagai suami istri dan orangtua menjadi tantangan berat yang harus mereka hadapi. Ini menyebabkan beberapa masalah serius, salah satunya adalah proses pengasuhan yang tidak ideal sehingga anak mereka kemudian mengalami stunting.
Banyaknya anak-anak yang kehilangan hak dasar mereka atas pendidikan, kesehatan, dan masa remaja yang bebas dari tanggung jawab orang dewasa adalah isu serius yang perlu diperhatikan. Selain harus putus sekolah dan tidak berdaya secara ekonomi, mereka juga lebih rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga dan masalah kesehatan. Komplikasi saat kehamilan dan persalinan menjadi penyebab utama kematian bagi remaja perempuan, menunjukkan betapa besar risiko yang dihadapi oleh anak-anak yang terlibat dalam pernikahan dini.

Upaya untuk menghentikan pernikahan anak harus mencakup pendekatan holistik. Kementrian PPN/Bappenas pada tahun 2020 telah menyusun Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak. Di dalamnya menguraikan indikator, rekomendasi, dan pendekatan di tingkat nasional dan regional. Strategi tersebut bertujuan untuk menurunkan prevalensi perkawinan anak menjadi 8,74% pada tahun 2024 dan 6,94% pada tahun 2030 melalui berbagai intervensi seperti penguatan pemahaman orang tua, peningkatan keterampilan mengasuh remaja, pemberdayaan ekonomi keluarga, dan peningkatan layanan konseling.

Meningkatkan kesadaran masyarakat dengan kampanye yang melibatkan tokoh agama, pemimpin komunitas, dan media juga hal yang tidak kalah penting. Masyarakat harus didorong untuk melihat anak-anak sebagai sosok berharga yang layak mendapatkan pendidikan dan peluang untuk mengembangkan potensinya.  Dengan memahami kisah-kisah di balik angka-angka ini, diharapkan kita dapat lebih menghargai urgensi untuk mencegah dan memutus mata rantai dampak  pernikahan anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline