Lihat ke Halaman Asli

Ambardewi

Pecinta seni, buku dan musik

"Stoisisme", Solusi Berdamai dengan Diri Sendiri

Diperbarui: 29 September 2021   01:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Seingkali manusia dibayang-bayangi oleh kekhawatiran akan masa depan, kecemasan, ketakutan hingga kehilangan rasa percaya diri. Setiap diri manusia mengalaminya, apalagi dalam kehidupan di era pandemi seperti saat ini. perubahan pola hidup yang cukup drastis, kehilangan orang tersayang, kehilangan pekerjaan, diuji dengan sakit hingga kekurangan.

Masa pandemi bukanlah satu-satunya penyebab banyak orang yang stress sehingga menyebabkan dirinya tidak mampu mengendalikan diri dan akhirnya terjerumus dalam hal-hal yang layaknya tidak boleh untuk dilakukan. Banyak orang mengira bahwa dengan memiliki harta yang melimpah bahkan berlebih dapat menjadi jalan keluar bagi manusia dalam menggapai kebahagiaan yang hakiki.

Bagi saya pribadi, Bahagia itu adalah Ketika kita dapat berdamai dengan diri sendiri dan selesai dengan diri kita. kata damai dan selesai merupakan sebuah tautan dimana kita sebagai manusia yang memiliki asa dan karsa dapat memilih, mana yang dapat kita kendalikan atau tidak dapat kita kendalikan. Senantiasa belajar dan sadar bahwa manusia memiliki Batasan dan kemampuan untuk mengolah hati dan juga pikiran, yakni dengan melatih diri untuk dapat menerapkan Damai, Selesai dan juga mampu mengendalikan apa yang dapat kita kendalikan dan melepaskan apa yang tidak dapat kita kendalikan.

Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana caranya kita untuk mencapai sebuah pemahaman bahwa manusia seharusnya dapat "bijak" untuk mengelola emosi dan pikiran serta bagaimana cara menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari? Jawabannya adalah dengan mengilhami dari Filsafat Stoa atau Stoic dan juga dikenal dengan paham Stosisme.


"The Stoics made a sharp distinction between things that are  in our power and things that are not"...
(F. Frances and Henry Hazlitt dalam The Wisdom Of The Stoics)

Filsafat Stoa berasal dari kisah yang berawal 300 tahun yang lalu sebelum Masehi, dimana seorang pedangang kaya yang bernama Zeno dari Pulau Siprus melakukan perjalanan dari Phoenicia ke Peiraeus. Zeno membawa barang dagangan khas Phoenicia yang berupa pewarna tekstil berwarna ungu yang harganya sangat mahal. Dalam perjalannya, ternyata kapal yang ditumpangi Zeno karam sehingga barang dagangannya pun hilang sekaligus ia harus terdampar di Athena tanpa satu sen pun di saku bajunya.

Singkat cerita, Zeno pergi ke toko buku dan membaca salah satu buku filsafat kegemarannya dan ia pun bertanya kepada pemilik toko, kemana dia dapat menjumpai filsuf-filsuf terkenal. Secara tidak sengaja, melintaslah Crates seorang filsuf aliran Cynic dan sang penjual buku menunjuk kea rah Crates dan akhirnya Zeno mengikutinya untuk belajar filsafat.

Lambat laun, Zeno belajar dari beberapa filsuf dan akhirnya dapat mengajar filsafatnya sendiri. Ia gemar mengajar di sebuah teras berpilar (dalam Bahasa Yunani disebit Stoa) yang terletak di sebelah Agora (tempat publik). Sejak itu para pengikutnya disebut kaum Stoa. Stoisisme bertujuan untuk dapat hidup bebas dari emosi negatif, mengasah hidup dengan penuh kebajikan, kebenaran dan dapat menahan diri (disiplin).

Filsafat Stoa sangat relevan dengan ritme hidup saat ini. pandemi yang sangat berdampak kepada seluruh manusia di dunia. Dengan menerapkan filsafat stoa dalam kehidupan sehari-hari maka kita dapat berfokus pada kedamaian dan ketentraman diri tanpa harus terusik faktor-faktor eksternal yang tidak dapat dikendalikan. Satu hal yang harus selalu diteladani dari Stoisisme adalah "hidup selaras dengan alam" atau in accordance with natur. Sebagai makhluk yang bernalar dan memiliki kemampuan untuk menggunakannya dalam hidup berkebajikan (life of virtues), sehingga kehidupan para penganut filsafat Stoa mampu untuk menjaga, memelihara dan menciptakan kehidupan yang harmoni dengan alam sehingga secara otomatis dapat memberikan efek positif bagi pikiran (positive mind) yang berujung pada sikap serta perilaku kita yang mencerminkan kebajikan.


Fiosofis Stoa mengajarkan tentang bagaimana kita hidup sebaik-baiknya seperti seharusnya kita menjadi manusia.
(Henry Manampiring dalam Filosofis Stoa)


Mulailah saat ini juga dengan terjun lebih dalam lagi mengenai filsafat Stoa yang pada intinya menginginkan kita untuk dapat menciptakan hidup yang melibatkan sifat bajik, harmoni dengan alam, selaras dengan agama juga mampu berdamai dengan diri sendiri melalui olah cipta, rasa dan karsa.

-Tulisan ini banyak diilhami oleh buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline