Lihat ke Halaman Asli

Ambardewi

Pecinta seni, buku dan musik

Sebuah Celoteh untuk Mengenal Diri

Diperbarui: 22 Mei 2021   05:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Terkadang, saat ditengah keramaian bahkan saat kondisi sepi tanpa kehadiran siapapun, pikiran ini melalang buana memikirkan hal yang menjadi perihal apa yang sering diujarkan anak muda kekinian dengan istilah 'galau'. Nomenklatur galau menurut saya pribadi dapat dikategorikan sebagai sebuah keadaan dimana perasaan kita merasakan gelisah, gundah dan berupaya mencari sebuah solusi terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Meski dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), galau diartikan sebagai galau/ga*lau/ a, bergalau/ber*ga*lau/ a sibuk beramai-ramai; ramai sekali; kacau tidak keruan (pikiran); kegalauan/ke*ga*lau*an/ n sifat (keadaan hal) galau.

Membaca puisi dengan menikmati secangkir kopi pahitpun, kadang  tidak menyelesaikan kerinduan kita pada suatu jalan keluar yang diharapkan. Doa telah dipanjatkan kepada sang Khaliq. Harapan hingga berbagi cerita pun telah diupayakan kepada orang yang kita percaya. Namun apa yang kerap terjadi? Permasalahan tak kunjung selesai, malah kerap menambah permasalahan baru yang disebabkan oleh 'kecorobahan' kita saat memilih dan memilah seseorang yang kita 'klaim' sebagai 'sahabat'.

Lucu memang, saat seseorang tiba-tiba bertingkah layaknya sastrawan, seorang yang 'jago' berpusi dan malah terlihat tidak puitis sama sekali. Berupaya untuk mencari perhatian kepada seseorang yang pernah 'singgah' dalam pengharapan. Lantas apa yang dapat diperbuat? Meneguk air mineral lebih dari ukuran yang disarankan? Atau berlari-lari menuju pegunungan yang kebanyakan orang mengira akan menjadi 'astethic'?

Sama halnya dengan menulis. Seseorang yang pandai menuangkan gagasan kedalam sebuah tulisan adalah orang yang membuka hatinya lebar-lebar untuk menyerap segala sesuatu yang dilihat dan dibacanya. Maka tak heran, dan adalah benar, sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa "bacaanmu adalah cerminan dari siapa dirimu". Memilih bacaan yang sesuai dan membuat perasaan senang adalah salah satu upaya mengenali diri sendiri.

Betapa tidak, bagaimana kita tahu seperti apa keinginan kita tanpa kita berusaha untuk memilah sesuatu yang menurut diri kita akan menjadi 'healing' akan semua permasalahan yang sedang kita hadapi. Apapun itu. Bagaimana kita tahu, apa yang kita ketahui dan kita inginkan? Semua itu bersumber dari rasa dan karsa otak kita. maka tak heran, jika manusia memiliki sistem limbik yang bertanggung jawab atas respons perilaku dan emosional. Sebuah kombinasi yang cantik ketika hipotalamus, hippocampus, amygdala dan korteks limbik berkolaborasi untuk mengatur rasa takut, kemarahan, kebahagiaan dan perasaan cinta ditubuh manusia.

Ada barisan orang-orang yang memilih bermeditasi di sepertiga malam yang sepi. Sebuah celoteh receh memang jika kita meng'klaim' bahwa kita sudah tahu apa yang kita inginkan. Yakinkah? Atau hanya sebatas retorika? Membaca tulisan inipun kadang harus diulang beberapa kali untuk mengetahui maksudnya. Yang pada intinya adalah, ketahui dulu rasa cinta, marah bahkan nafsumu yang memuncak, mampu bedakan kemudian ungkapkan kedalam sebuah perilaku.
Maka itu yang dinamakan kau tau apa yang kau inginkan..

Dan ingat satu hal, tak butuh pengakuan orang lain terhadap kita, akan baik buruknya apa yang kita ketahui dan yakini. Semata hanya untuk menjadi kenal dengan hati dan jiwa kita.

Sebuah tulisan sedikit rumit setelah subuh tiba.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline