Gerimis masih rajin menyambangi kota Yogyakarta. Meski demikian, beberapa tempat yang menjadi lokasi penyelenggaraan JAFF rame oleh para sinefil dari berbagai kota hingga mancanegara. Ya, Jogja-NETPAC Asian Film Festival alias JAFF ibaratnya lebaran dan halal bihalalnya para sinefil.
Tahun ini adalah kali pertama aku mencicipi suasana JAFF. Aku menyesapi sejenak suasana di XXI Empire yang menjadi lokasi pemutaran film, Jogja Expo yang menjadi tempat JAFF Market, dan Gedung Inovasi dan Kreativitas UGM yang menjadi tempat penyelenggaraan cine-concert Samsara.
Aku sendiri hanya menargetkan menonton cine-concert Samsara di JAFF. Sementara, beberapa film pilihanku sudah sold-out.
Di halaman XXI Empire ada begitu banyak UMKM yang menjual aneka makanan minuman, ada bubur, bakso, dan makanan lainnya. Juga ada penjual teh jahe dan kopi rempah. Panggung untuk para musisi tampil juga disediakan.
Suasana saat malam tetap terasa hidup. Oleh karena aku tak punya agenda khusus, maka aku mengobrol dengan para sinefil tentang hal-hal apa saja yang berkaitan dengan film. Kebetulan ada dua rekan sinefil dari Malaysia yang kemudian bergabung.
Mereka menjadikan acara JAFF ini sebagai agenda wajib untuk menikmati film-film berkualitas, sekaligus merasai suasananya. Bahkan mereka bersedia mengeluarkan kocek yang tak sedikit untuk menjadi sahabat Hanoman.
Kami mengobrol seputar JAFF, sebelum obrolan kami membahas tentang popularitas film-film Indonesia di Malaysia. Ya, film Indonesia termasuk populer di Malaysia, sehingga tak sedikit rumah produksi yang menjadikan Malaysia sebagai target pasarnya.
Untuk tahun ini film yang mendapat perhatian besar di Malaysia adalah Ipar Adalah Maut karena kontroversinya. Ada yang berpendapat ceritanya tidak umum, mereka baru kali itu mendengar ada cerita nyata seseorang bisa bersikap jahat kepada istri dan adik iparnya.
Sementara film Joko Anwar, Siksa Kubur, agak bernasib kurang beruntung di Malaysia. Ada sensor keras dari institusi setempat karena ada beberapa hal yang dianggap isunya sensitif. Judulnya pun diubah hanya 'Siksa'.
Ketika aku bertanya film Indonesia mana yang disuka, keduanya kompak menyebut Badarawuhi di Desa Penari. Keduanya menganggap ceritanya menarik karena memiliki unsur lokal kedaerahan. Namun untuk film Indonesia favoritnya sepanjang masa, keduanya menyebut Autobiography. Film tersebut apik dari segi visual maupun materi ceritanya.
Percakapan kami masih panjang. Kami membahas harga tiket bioskop, film-film Malaysia yang lagi beken, juga film mancanegara.