Lihat ke Halaman Asli

Dewi Puspasari

TERVERIFIKASI

Penulis dan Konsultan TI

Membaca Habis Gelap Terbitlah Terang Versi Armijn Pane, Mengikuti Perubahan Kartini dari Idealis Jadi Realistis

Diperbarui: 24 Oktober 2024   00:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kartini seperti gadis remaja umumnya. Ia juga mengeluh dan memiliki banyak impian (sumber gambar: iPusnas) 

Semalam aku membaca buku tentang Raden Ajeng Kartini berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini ditulis oleh Armijn Pane dan diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1938. Buku ini merupakan terjemahan dari versi Belanda yang disusun oleh J.H. Abendanon, yang berjudul Door Duisternis Tot Licht. 

Sepanjang malam aku menuntaskan buku setebal 250-an halaman ini. Aku membacanya di aplikasi iPusnas. Buku ini ibarat melengkapi cerita tentang Kartini yang kudapatkan dari tiga film sebelumnya. Buku ini sendiri merupakan versi lebih anyar dari versi terjemahan dari empat saudara,  Zainudin Rasa, Djamaloedin Rasa, Bagindo Dahlan Abdullah, dan Sutan Muhammad Zain yang diterbitkan tahun 1922 oleh penerbit yang sama. 

Di awal ada penjelasan dari Armijn Pane tentang alasan untuk mencintai dan menghargai Kartini secara tidak berlebihan. Ada sejumlah alasan mengapa tanggal lahir Kartini diperingati dan beliau ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Penghargaan buat Kartini bukan berarti mengesampingkan peran dan kontribusi pahlawan pendidik perempuan lainnya seperti Dewi Sartika dan Siti Walidah. 

Ada lima bab pembahasan dalam buku ini. Di awal dikisahkan Kartini dipingit sejak usia 12 tahun. Kemudian pada usia 16 tahun ia mulai agak bebas, meski masih banyak batasan. Ia banyak membaca buku dan kemudian karya tulisnya juga dimuat. 

Buku ini memuat surat-surat Kartini pada periode waktu tahun 1899-1904. Ia banyak mengirim surat kepada E. H. Zeehandelaar yang ia sapa dengan Stella, kemudian nyonya M. C. E. Ovink-Sur, dan nyonya R. M. Abendanon-Mandri. Ada juga surat-surat ke pihak lainnya. Total surat dalam buku ini 87 buah. Tak semua surat dalam buku rujukan dituangkan di sini dengan alasan ada kemiripan isi di dalamnya. 

Membaca surat Kartini, aku merasa kagum dengan cara ia bertutur berikut juga pengetahuannya. Ia memang dibesarkan di lingkungan keluarga yang peduli dengan ilmu pengetahuan. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV  adalah Bupati Demak yang dikenal sangat peduli dengan pendidikan.

Ayahnya sendiri, Raden Mas Adipati Aryo Sosroningrat yang seorang Bupati Jepara juga sebenarnya begitu sayang dan ingin Kartini menggapai cita-citanya. Hanya ada sejumlah batasan untuk perempuan pada masa itu, sehingga ia juga berhati-hati dalam mendukung putrinya. 

Kartini menurutku sama seperti gadis remaja pada umumnya. Ia juga mengeluh akan kondisinya yang serba dibatasi. Ia ingin sekali bisa belajar di Belanda dan ia juga iri dengan gadis-gadis Belanda yang tak harus dipingit dan lainnya. 

Selain masalah tradisi, ia mengeluhkan praktik poligami sehingga ia takut terikat dengan ikatan pernikahan. Bahkan ia sempat tak ingin menikah. 

Lambat laun sikap Kartini yang keras dengan idealisme kemudian mulai melunak. Ia mempertimbangkan banyak hal, termasuk citra dan nama baik ayahnya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline