Road movie atau film perjalanan adalah salah satu genre film yang belum banyak digunakan di perfilman nasional. Padahal Indonesia dengan pesona alamnya yang indah dan keragaman budayanya sangat potensial untuk menjadi latar dan isi road movie.
Tak sedikit film perjalanan yang berkesan di hati sinefil, misalnya 3 Hari untuk Selamanya, Pulang, dan Kulari ke Pantai. Oleh karena itu ketika mengetahui Istiqlal merupakan film pendek bergenre road movie, aku pun antusias.
Film Istiqlal berkisah tentang perjalanan dengan roda dua yang dilakukan oleh Babeh dan putranya, Sobari. Si Babeh hendak mengajak anaknya berbuka puasa di Masjid Istiqlal. Keduanya sendiri berasal dari Ciputat.
Si Babeh yang dulunya tinggal di Jakarta kebingungan melihat perkembangan kota. Ia yang dulunya hafal dengan jalan-jalan di megapolitan ini mulai mengalami kesulitan. Namun ia tetap keras kepala dan menolak ketika putranya mengusulkan untuk menggunakan aplikasi peta. Ehm apakah keduanya berhasil tiba di Istiqlal?
Dalam film perjalanan, umumnya ada dua hal yang ditonjolkan dalam film ini. Yang pertama adalah konflik yang dialami selama melakukan perjalanan. Dan yang kedua adalah konflik antara sesama pelaku perjalanan ini.
Konflik yang dialami selama berkendara bisa beragam, seperti ban kempes, dijambret, kebanjiran, dan sebagainya. Sedangkan konflik antarsesama pelaku perjalanan bisa saling cekcok karena berbeda tujuan dan berbeda pendapat.
Nah dalam film Istiqlal ini konflik mencuat karena Jakarta yang tumbuh pesat, sementara si Babeh sudah begitu jarang ke kota ini. Alhasil ia kebingungan mencari cara menuju tujuannya.
Sedangkan konflik dengan putranya dikarenakan perbedaan dalam mencari arah. Si Babeh mengandalkan ingatan masa lalunya dan hasil bertanya sana-sini. Sedangkan si anak ingin ayahnya mengandalkan teknologi.
Dua jenis konflik inilah yang kemudian diramu oleh sang penulis sekaligus sutradara, Razny Mahardhika menjadi cerita yang memikat. Selama 15 menit, penonton disodori konflik Babeh dan putranya yang tersesat menuju Istiqlal.