Pada masa pergerakan nasional, tak sedikit para pemuda yang rela meninggalkan kehidupan berkeluarganya yang damai demi memberikan kontribusi bagi terwujudnya kemerdekaan negeri yang dicintainya. Perjuangan tentang salah satu pemuda pergerakan tersebut dituangkan dalam film Teguh Karya berjudul Doea Tanda Mata.
Nama pemuda tersebut adalah Gunadi (Alex Komang). Ia sering terlihat berpakaian rapi dan necis. Biola sering dibawanya karena ia mahir memainkannya. Tapi pemuda asal Klaten itu bukan pemain biola biasa. Ia anggota pergerakan bawah tanah. Tugasnya menyebarkan selebaran-selebaran gelap.
Istrinya yang seorang guru dengan tabah merestui perjuangan suaminya. Keduanya kerap bertukar surat. Ia tidak tahu jika di sekitar lingkungan suaminya ada sosok pemain drama bernama Ining (Jenny Rachman), yang diam-diam menyukainya.
Konflik terjadi ketika Gunadi dihantui perasaan bersalah kepada keluarga Ining. Gara-gara mengantar dirinya, adik Ining tewas ditembak serdadu Belanda. Ia pun mengatur siasat untuk membalas dendam. Namun sikap Gunadi ini malah membuat rekan seperjuangannya mencurigainya.
Desain Produksi yang Rapi dan Desain Karakter yang Unik
Tokoh Gunadi, Ining, dan lain-lain hanya sosok rekaan Alex Komang dan Teguh Karya. Namun para karakter ini mampu menyampaikan pesan berbagai hal, seperti keberanian dalam bertindak, pentingnya kekompakan dalam berjuang melawan pihak kolonial, dan lain-lain.
Meski Gunadi merupakan tokoh utama dalam film ini, Ia tidak digambarkan sebagai sosok yang sempurna. Ia tetaplah manusia biasa. Ia peragu. Ia juga nampak canggung dan seperti serba salah. Ia juga merasa dirinya bukan siapa-siapa dan belum memberikan apa-apa.
Desain karakter yang manusiawi dalam berbagai film perjuangan lawas uni menurutku patut diapresiasi. Karakternya jadi terasa lebih natural dan napak bumi.
Cerita film ini sendiri juga terasa segar. Tidak banyak film yang mengupas tentang masa pergerakan nasional, kebanyakan tentang masa agresi militer dan perang Jawa. Oleh karenanya film ini juga membuka wawasan seperti adanya pergerakan bawah tanah, perjuangan melalui selebaran dan media cetak, penanaman nasionalisme di sekolah-sekolah rakyat, dan sebagainya.
Teguh Karya bersama para kru film berhasil menciptakan kota-kota pada masa tahun 1930-an, dengan tempat hiburan yang didatangi para kulit putih, tempat-tempat berkumpul para pemuda pergerakan, dan sekolah-sekolah. Tata artistik yang rapi dan detail ini dikomandani oleh Benny Benhardi.
Sebenarnya akan lebih nampak natural apabila sebagian kostum pemain dibiarkan lusuh dan warnanya pudar. Di dalam film ini kostum para pemain rata-rata seperti pakaian yang baru dan habis disetrika licin.