Mereka menyebutnya magic lantern. Sihir lentera ini menjadi hiburan yang disukai anak-anak hingga kaum dewasa pada jaman dulu. Gambar, lukisan, dan foto dalam kotak-kotak kaca diproyeksikan ke layar membentuk rangkaian visual yang menyihir penonton. Siapa nyana magic lantern ini dulu juga digunakan untuk keperluan kolonialisasi Belgia di Kongo, baik untuk propaganda maupun penyebaran agama. Esai puitis dari penggunaan sihir lentera pada masa kolonialisasi Belgia ini dikisahkan dalam film dokumenter berjudul Broken View.
Adegan-adegan di awal film menyorot kaum pribumi yang diminta untuk berfoto oleh pihak kolonial Belgia. Mereka nampak terpesona oleh kamera yang bisa menghasilkan gambar indah. Oleh karenanya mereka nampak patuh ketika diminta berubah posisi di depan kamera, tersenyum, duduk dan sebagainya.
Adegan-adegan berikutnya menunjukkan gambar ribuan warga yang duduk di sebuah tempat terbuka dengan raut wajah yang nampak tak nyaman. Sementara pihak kolonial berdiri dengan angkuh dan bangga. Adegan beralih ke dua sosok perempuan yang dengan patuh mengikuti perintah kameraman, dari menyunggi barang, mendekat, tersenyum, dan sebagainya.
Sekitar tahun 1840 kamera ditemukan. Selanjutnya penggunaan kamera ini menyebar. Kamera menjadi salah satu senjata kolonial selain senjata. Kamera mereka gunakan untuk kegiatan administrasi, dokumentasi penelitian, keperluan komersil, hingga mendukung kegiatan misionaris. Foto yang dihasilkan dari kamera kemudian mereka suguhkan lewat magic lantern, proyektor jaman dulu.
Belgia adalah salah satu negara yang menggunakan kamera dan magic lantern untuk mendukung kegiatan mengontrol kawasan kolonial dan mendukung kegiatan misionaris. Mereka menguasai Kongo sejak tahun 1885.
Saat Leopold II memerintah, rakyat Kongo diperlakukan dengan kejam. Ia menganggap Kongo sebagai properti pribadi sehingga sumber daya alam dan manusianya diperlakukan seenaknya. Ia memberlakukan kerja paksa, terutama untuk gading dan karet. Sekitar 10 juta rakyat Kongo meninggal karenanya. Ketika Leopold II kemudian menyerahkan Kongo ke pemerintah Belgia, kondisi rakyat Kongo tak banyak berubah, hingga kolonial Belgia meninggalkan mereka tahun 1960.
Film dokumenter yang dibesut oleh Hannes Verhoustraete ini memang berfokus pada penggunaan kamera dan magic lantern dalam upaya mendukung penjajahan. Foto-foto rakyat Kongo yang gagah dan tersenyum indah disandingkan dengan foto dan data mereka yang menderita karena penjajahan. Gambar-gambar indah dari kalangan borjuis Eropa dikontraskan dengan kondisi masyarakat Kongo yang miskin dan kesusahan.
Magic lantern bukan hanya membuat kaum pribumi kagum akan benda tersebut. Benda ini juga digunakan kolonial untuk menakut-nakuti mereka dengan kisah iblis dan ajakan untuk meninggalkan paganisme.