Usai menyaksikan pembukaan Europe on Screen di Goethe Institute, aku pun melangkah ke Taman Ismail Marzuki. Perjalanan memakan waktu 20 menitan karena lalu lintas yang padat dan agak susah menyeberang. Karena waktu pertunjukan Cak Lontong masih lama, aku pun memesan nasgor gila.
Menyantap nasi goreng malam hari adalah guilty pleasure bagi aku yang sedang mencoba menurunkan berat badan. Ya nggak apa-apa sesekali. Kemarin dan hari ini aku berjalan kaki lumayan jauh. Hari ini agak santai ah.
Ini kali kedua aku menyantap makan malam sendirian di kawasan depan Taman Ismail Marzuki setelah renovasi. Sebelumnya aku menyantap nasi gila dan kepincut dengan rasanya. Sedap dan tidak mahal.
Kali ini aku mencoba nasi goreng gila dengan rasa yang agak pedas. Sepertinya ada banyak penyukanya karena si penjual seakan-akan tak berhenti memasak nasi goreng.
Aku menunggu 15 menitan nasi goreng pesananku jadi. Wah porsinya banyak sekali. Apakah aku sanggup menghabiskannya?
Di dalam nasi goreng gila ada kol, sawi hijau, telur, bakso, dan sosis. Isiannya begitu berlimpah dan beragam. Sebagai pelengkapnya adalah kerupuk.
Memang nasgor gila Jakarta itu sedap. Dan di kawasan Cikini dan Menteng ada banyak penjual nasgor yang sedap. Dibandingkan nasgor gila di dekat rumah, jauh lebih sedap di kawasan ini. Mungkin karena menu ini andalan mereka.
Nasi goreng yang sedap dan perut yang lapar membuatku tak berhenti menyantapnya. Tapi ternyata porsinya memang terlalu banyak untuk ukuranku. Tinggal beberapa siap, tapi aku sudah tak sanggup. Mohon maaf.
Seporsi nasi goreng gila cukup membayar Rp15 ribu rupiah. Terjangkau dan nikmat.
Tak lama aku menuju Teater Besar Taman Ismail Marzuki. Di dalam sudah banyak penonton yang akan menyaksikan aksi pertunjukan Cak Lontong dan kawan-kawan dalam lakon Julini Tak Pernah Mati, sebuah pertunjukan untuk memberikan penghargaan kepada pendiri Teater Koma, N. Riantiarno.