Para perempuan memang secara fisik nampak lebih lemah dibandingkan pria. Namun di balik kerapuhannya, para perempuan sebenarnya adalah sosok-sosok yang kuat dan tabah.
Ketika masih jadi kuli tinta, aku sering pulang ke kampung halaman di Malang langsung dari kantor. Setiap Minggu aku dapat jatah libur satu hari saja. Alhasil aku suka nekat tak libur dalam seminggu, agar bisa libur di rumah dua harian.
Jika aku mengikuti deadline kompartemenku, maka aku bisa pulang jam 21.30 WIB. Tapi ada kalanya aku ditugaskan di bagian internasional, sehingga baru hampir tengah malam aku bisa pulang.
Menuju terminal Purabaya alias Bungurasih, aku perlu naik elf. Biasanya jika sudah tengah malam maka elf relatif lebih sepi. Tak apa-apa yang penting aku bisa pulang ke rumah orang tua. Ada kalanya aku bisa pulang dua minggu sekali, tapi jika sedang lelah atau ada tugas khusus, maka aku baru bisa pulang sebulan sekali.
Sampai terminal, suasana terminal sudah lengang. Masih ada bus menuju Malang. Sepertinya memang bus beroperasi 24 jam.
Selama menumpang bus, lampu dimatikan. Terasa gelap. Ada kalanya aku merasa was-was. Apakah penumpang lainnya manusia sepertiku? Kebanyakan baca cerita horor, membuat aku juga ada kalanya curiga.
Menjelang pukul tiga pagi sampaikan aku di Terminal Arjosari. Berbeda dengan suasana di Terminal Bungurasih, di terminal ini tidak begitu sepi. Ada beberapa perempuan yang siap bekerja.
Mereka adalah mlijo dan pedagang pasar. Mlijo adalah sebutan untuk penjual sayur dan lauk pauk keliling yang menyinggung dagangannya dalam wadah besar. Pada tahun-tahun itu masih banyak mlijo di Malang, namun lama-kelamaan memang makin tak terlihat.
Matahari belum juga muncul namun mereka sudah harus bersiap-siap ke pasar. Mereka rata-rata menuju pasar induk di daerah Gadang, ada yang kulakan ada juga yang memang hendak berjualan di sana.
Aku terjepit di antara mereka. Aku merasa aman bersama mereka.
Kuperhatikan ibu-ibu tersebut. Raut wajah mereka nampak lelah, namun juga penuh tekad.