Lihat ke Halaman Asli

Dewi Puspasari

TERVERIFIKASI

Penulis dan Konsultan TI

Pesan Toleransi dalam Cahaya dari Timur: Beta Maluku

Diperbarui: 22 Agustus 2022   20:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sani melatih anak-anak Tulehu dengan sukarela dan fasilitas yang sangat terbatas (sumber gambar: Visinema dalam Liputan6) 

"Tunjukkan pada mereka semua bahwa kita satu. Kita orang Maluku yang tidak mudah menyerah." - Sani Tawainella ("Cahaya dari Timur: Beta Maluku")

Konflik berdarah yang pernah terjadi di Kepulauan Maluku memang merupakan cerita kelam yang pernah terjadi di bumi Indonesia ini. Namun, di situasi yang kelabu tersebut masih ada api cahaya yang disulut oleh Sani Tawainella lewat permainan sepak bola. Kisah yang diadaptasi dari peristiwa nyata ini dilukiskan dalam film "Cahaya dari Timur: Beta Maluku".

Adalah Sani Tawainella (Chicco Jericho), seorang mantan pemain sepak bola yang tidak beruntung berkiprah di jalur profesional. Ia kemudian terpaksa menjadi tukang ojek demi menghidupi anak istrinya.

Suatu ketika ia dihadapkan pada situasi konflik Maluku. Ia melihat dengan mata kepala sendiri betapa mengerikan dan menyedihkannya sesama Maluku saling bertikai. Konflik tersebut meluas hingga ke daerah tempat tinggalnya di Tulehu.

Demi melindungi anak-anak Tulehu agar tidak terseret oleh konflik, ia mengajak mereka untuk berlatih sepak bola. Tidak mudah untuk berkomitmen melatih mereka setiap hari karena ia dan kawannya melakukannya secara sukarela, tanpa dibayar. Hingga suatu ketika ada peluang besar, namun mereka dihadapkan oleh sejumlah permasalahan.

Berdasarkan Kisah Nyata
Konflik berdarah Maluku menyisakan luka dan cerita kelam. Aku ingat waktu itu ada anak baru di kelasku yang merupakan pengungsi dari Ambon. Ia bercerita betapa seramnya situasi masa itu sehingga semua keluarganya terpaksa mengungsi.

Di Surabaya saat itu ada beberapa kelompok yang berupaya memanas-manasi situasi. Mereka berupaya membawanya ke konflik agama dan menyebutnya sebagai perang jihat. Untungnya tak banyak yang terprovokasi. Sungguh betapa seramnya jika Indonesia diadu domba lewat isu SARA. Semoga tak ada lagi konflik yang dipicu oleh SARA.

Setiap sore Sani mengajak anak-anak berlatih sepak bola agar mereka tak terseret konflik Maluku (sumber gambar:Visinema dalam Tabloid Bintang) 


Oleh karenanya ketika menyaksikan film yang dirilis tahun 2014 ini aku salut dengan perjuangan Sani dkk yang berupaya melindungi anak-anak di daerahnya dari konflik, lewat permainan sepak bola. Anak-anak dibuatnya fokus berlatih, belajar disiplin, dan belajar menjadi satu tim, sehingga mereka tidak tertarik untuk ikut campur dalam soal konflik.

Kental dengan Pesan Toleransi

Ada banyak hal menarik yang bisa disimak dari film ini. Yang pertama tentunya perjuangan Sani dan kawannya untuk berkomitmen melatih. Bertahun-tahun mereka melatih tanpa dibayar. Sani dalam film digambarkan sering menerima kata-kata pedas istrinya karena terlilit oleh utang di warung. Sani meski bekerja keras dari pagi hingga waktu latihan sebagai pengojek, tak pernah bisa bawa uang yang cukup.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline