Lihat ke Halaman Asli

Dewi Puspasari

TERVERIFIKASI

Penulis dan Konsultan TI

Cerita Superhero Makin Kompleks, Jadi Kangen Kesederhanaannya

Diperbarui: 22 Juli 2022   08:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Gara-gara ada obral buku, koleksi buku-buku DC Comics dan Marvelku jadi bertambah. Dulunya selain suka nonton film layar lebarnya, aku juga suka menyaksikan film kartun dan beberapa serial superheronya. Namun semakin ke sini cerita superhero jadi makin kompleks. Entah kenapa aku jadi kangen dengan masa-masa ketika cerita superhero masih sederhana.

Ada begitu banyak film superhero. Namun hanya ada beberapa filmnya yang suka kutonton ulang. Film-film tersebut rata-rata film-film superhero solo seperti Batman era Michael Keaton dan Christian Bale, terutama ketika lawan Penguin dan Joker. Lalu film Spider-Man era Tobey Maguire, terutama ketika Spidey melawan Dr. Octopus.

Untuk yang keroyokan, aku paling suka Trilogi X-Men yang hadir pada awal 2000-an, cerita "Dragon Balls" hingga lawan Cell, Avengers ketika muncul perdana dan Justice League versi Zack Snyder. Ditonton ulang pun film-film tersebut masih menyenangkan dan kesan usai menontonnya, tetap sama. Perasaan yang kompleks. Ada rasa terharu dan senang.
Jika kuperhatikan jumlah film superhero baik yang tayang di bioskop dan platform OTT dalam bentuk serial itu begitu banyak. Seabrek-abrek.

Aku suka kisah Dragon Balls ketika Trunks ikut bergabung (sumber gambar: Universal Dragon Ball Wiki) 

Dulu-dulu sebelum era 2000-an, jumlah film superhero saban tahunnya bisa dihitung dengan jari. Bahkan mungkin tidak setiap tahun ada film superhero.

Para superhero yang dikenal pada masa-masa tersebut juga tidak sebanyak era sekarang. Paling banyak superhero dari DC Comics, seperti Batman, Superman,  Wonder Woman, dan The Flash. Sedangkan untuk superhero Marvel, dulu yang beken Spider-Man, The Punisher, dan Hulk.

Tapi sekarang dunia hiburan mulai dikuasai oleh genre superhero. Genre yang mudah mendatangkan duit. Genre ini juga berhasil menjadi salah satu ikon pop culture.

Belakangan ini bahkan jumlah film superhero terasa masifnya, baik yang tayang di layar lebar, maupun di platform OTT. Para jagoan bukan hanya dari kubu DC dan Marvel. Ada juga kisah superhero lainnya seperti "The Boys", "Heroes", " The Guardians", "The Incredibles", " Super Crooks", "Hellboy", " The Crow", "Tiged & Bunny", dan berbagai serial lainnya yang juga mengusung superhero.

Dulu aku begitu antusias menontonnya. Kulahap serial "Heroes" dengan antusias. Ada penasaran dan antusias tinggi mengikuti serial "Constantine", "Smallville", "Agent of S.H.I.E.L.D", "Arrow", "Gotham", dan  "The Flash". Hingga suatu ketika aku merasa cukup. Jenuh. Ceritanya juga terasa makin ruwet dan kompleks. Aku jadi  tak menikmati lagi. Otakku malah lelah.

Mungkin kejenuhanku bermula dari "The Flash" musim kedua. Saat itu aku merasa betapa mudahnya seseorang menjadi superhero. Sebagian tokoh di cerita kemudian menjadi superhero. Sosok superhero jadi terasa tak istimewa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline