Japanese Film Festival (JFF) 2022 telah dimulai. Salah satu film drama dengan unsur kuliner yang kurekomendasikan adalah "Bread of Happiness" (Shiawase no Pan). Film ini berkisah tentang kebahagiaan yang dirasakan ketika menyantap roti segar yang sedap.
Adalah pasangan suami istri, Rie Mizushima (Tomoyo Harada) dan Nao Mizushima (Yo Oizumi) yang membuka kafe bernama Mani di dekat danau di Hokkaido. Kafe mereka memiliki penginapan mungil di bagian lantai dua. Si istri, Rie, bagian memasak dan menyiapkan kopi. Sedangkan suami, Nao, yang mengolah roti dan memanggangnya dengan oven khususnya.
Setiap hari roti yang diolah dan disajikan bisa berbeda. Bisa roti dari rye, roti baquet, atau roto dengan isian walnut, keju, atau buah-buahan kering. Bahan-bahannya kebanyakan yang didapatkan di sekitar mereka.
Para pengunjungnya rata-rata adalah pelanggan tetap, seperti kakek yang rupanya pandai bermain alat musik dan seorang pengantar pos. Lalu juga ada tamu-tamu musiman dan tamu dari jauh.
Salah satunya adalah Kaori Saito (Kanna Mori). Ia gagal berlibur romantis dan hanya sendirian di penginapan tersebut. Lalu pada hari yang sama juga ada seorang pemuda setempat bernama Tokio. Keduanya berbeda perangai, namun kemudian mereka ditalikan oleh roti-roti kafe tersebut.
Selanjutnya ada dua pasang tamu lainnya, bapak anak dan suami istri lansia yang membuat Rie dan Nao merasa harus berbuat sesuatu.
Sebuah Film Ringan Tentang Keajaiban Makanan
Menyaksikan film ini tak perlu dahi berkerut-kerut. Santai sajalah, karena film ini ringan dan mudah dipahami. Intinya tentang keajaiban yang lahir dari makanan.
Rupanya makanan dan minuman seperti kopi, sup labu, dan aneka roti bisa menjadi sesuatu yang memantik emosi, kenangan dan menciptakan kebahagiaan. Dari rasa percaya Rie dan Nao bahwa roti itu bisa memberikan kebahagiaan itulah maka cerita ini mengalir.
Cerita di awal memiliki nuansa ceria dan romantis namun bagian kedua terasa sendu dan agak muram. Alurnya pun berubah menjadi lebih lambat dan agak datar.
Dalam film, fokusnya malah lebih ke para tamu yang singgah di kafe plus penginapan tersebut. Sosok suami istri pengelolanya malah kurang tersorot, siapakah keduanya dan bagaimana mereka memulai resto hanya diceritakan sambil lalu. Alasan-alasan yang membuat Rie nampak sedih, rasanya kurang kurang dan kurang tersampaikan ke penonton.
Ada sesuatu yang terasa kurang di film ini. Biasanya dalam film kuliner, kokinyalah yang memberikan nyawa dalam cerita. Tapi di sini nyawa dari kedua pengelolanya masih terasa kurang.