Tak semua film Indonesia beruntung mendapat layar yang cukup saat diluncurkan. Persaingan dengan film impor sangatlah sengit, jumlah kuota layar juga lebih banyak untuk film mancanegara. Pengalaman cepat turun layar karena kurangnya sambutan juga pernah dialami oleh film "The Photograph".
Seingatku film ini hanya bertahan seminggu penayangan saat dirilis bulan Juli 2007. Ketika menyaksikan film ini di Disney Plus Hotstar baru-baru ini, aku menyesal tak menontonnya dulu di layar lebar. Filmnya menarik, ceritanya tak pasaran. Gambar-gambarnya juga artistik.
Filmnya tak biasa. Ia berkisah tentang pemilik studio foto eksentrik keturunan Tionghoa bernama Johan Tanujaya (Lim Kay Tong) yang eksentrik. Ia memiliki studio foto di rumahnya. Namun setiap harinya ia juga berkeliling menawarkan jasa dan mangkal di sebuah tempat.
Adalah Sita (Shanty) seorang penyanyi bar yang agak memaksa agar diperbolehkan tinggal di loteng rumahnya. Sita menghindar dari Suroso (Lukman Sardi) seorang preman dan germo tempat ia punya utang dan kadang-kadang memperkerjakannya sebagai perempuan malam.
Sita punya anak yang tinggal di luar daerah. Kepada anak dan nenek yang mengasuh putrinya ia mengaku bekerja di pabrik garmen.
Sita tertarik dengan foto-foto. Namun Johan selalu melarangnya mendekati dan menyentuh kamera-kameranya. Hingga suatu ketika kondisi keuangan Sita terdesak. Ia memaksa Johan menerimanya sebagai asistennya.
Keduanya pun berkeliling menawarkan jasa memotret. Johan kemudian mencari orang yang akan dilatihnya sebagai penerusnya. Sayangnya Johan mensyaratkannya penerusnya harus pria.
Sebuah Cerita yang Tak Mainstream
Film yang dibintangi Shanty dan Lim Kay Tong, aktor Singapura, ini memiliki tempo bercerita yang lambat. Penonton mendapat info sosok Johan secara sekeping-keping hingga rahasia masa lalunya terungkap. Kontras dengan sosok Sita yang penonton dengan cepat mendapatkan gambaran latar belakangnya.
Hubungan Sita dan Johan juga terjalin secara perlahan-lahan. Awalnya Johan nampak curiga kepadanya, bahkan tak senang ketika ia memaksa untuk tinggal di lotengnya. Namun lambat laun muncul rasa untuk saling peduli dan menghargai satu sama lain.