"Sebuah toko sambal?" Raka nampak ragu, dan kembali menanyakan hal yang sama berulang. "Ya, toko sambal nusantara, yang menjual barang secara online dan juga secara fisik," ujarku mantap. "Mengapa toko sambal? Aku tak mengerti. Mengapa tidak produk lainnya yang lebih keren...?" Aku tahu Raka masih tidak suka akan ideku. Tapi tak apa-apa, ia tidak harus setuju.
Raka adalah sepupuku. Usia kami tak beda jauh. Aku lebih tua dua tahun darinya. Suatu ketika paman memberitahu kami berdua, ada bangunan kosong miliknya yang bisa diubah menjadi sebuah toko. Lokasinya di tepi jalan. Ia juga memberi kami modal Rp 10 juta untuk membuka usaha.
Mungkin bagi kalian uang 10 juta bukan apa-apa. Tapi bagi kami berdua yang masih duduk di bangku kuliah, uang senilai Rp 10 juta itu sangatlah besar. Aku pernah sih ikutan jadi panitia atau berjualan di bazaar dan dapat uang dari sana. Tapi aku belum pernah mendapatkan Rp 10 juta dari seseorang untuk modal usaha.
"Paman yakin, kalian berdua bisa memanfaatkan toko tersebut dan uang sepuluh juta ini," Aku masih mengingat pesan paman tersebut. Bangunan itu sendiri sudah pernah jadi toko. Penyewa sebelumnya tak melanjutkannya lagi karena ingin pulang kampung. Memang ia tak luas. Ukurannya kira-kira sekamarku, 3 kali 4 meter. Tapi ini toko kami pertama. Aku sangat antusias. ***
Kami berdua tetap tak sepakat. Akhirnya kami bagi uang tersebut. Raka akan menjual pomade, parfum cowok murah, krim cukur, dan aksesori pria. Sedangkan aku tetap melanjutkan niatku berjualan sambal.
Aku memilih berjualan sambal karena teringat dengan resep yang kubaca di intisari lawas. Aku lupa sih judul kolomnya, kumpulan resep Nyonya X. Resep-resep kuno itu selalu membuatku penasaran. Seperti ada bubuk peri atau jampi-jampi sihir. Bagaimana mereka tahu keluwek hitam bisa jadi sambal yang enak? Terasi yang aromanya menyengat, rupanya jadi jinak ketika berjumpa dengan bawang dan cabe. Trio tersebut kompak menjadi rasa sambal yang sedap.
Aku masih sibuk mencari tempat kulakan sambal. Untuk langkah awal, aku menjadi reseller, kubeli beberapa kaleng sambal dari toko-toko daring yang sudah ada, sambil menerka-nerka sambal mana yang bakal laris-manis.
Di etalase kujajarkan sambal bajak, sambal bawang, sambal terasi, dan sambal kacang. Di rak bagian bawah berjajar sambal paru, sambal teri, sambal petai, sambal tuna, sambal cumi, sambal teri kacang, sambal jengkol, dan sambal ubi.
Aku baru mulai mengisi rak dan memotret-motretnya untuk kupajang di market place dan juga akun instagramku. Aku kalah start dengan Raka. Etalasenya sudah rapi dan penuh. Ia nampak senyum-senyum sambil memencet hape, sudah ada lima yang memesan produknya. Duh.