Kapan kali pertama nonton ke bioskop? Ehm aku tak ingat. Kayaknya sudah lama sekali. Ketika aku masih kecil. Masih balita mungkin. Hal ini dikarenakan Malang dulu punya banyak bioskop. Tinggal pilih saja yang lokasinya tak jauh dari rumah dan tiketnya tak begitu mahal.
Bioskop di Malang sebelum krismon 98 seingatku cukup banyak. Ada bioskop yang seperti layar tancap di Kelud. Lalu ada bioskop Presiden yang sekarang jadi hotel Savana. Kemudian ada bioskop Mutiara di Klojen dan bioskop Kayutangan di daerah Kayutangan.
Meski dulu banyak bioskop rasanya kami jarang ke sana. Dulu masih sering ada layar tancap yang bisa ditonton cuma-cuma. Juga ada video pemutar Betamax, tinggal sewa kaset videonya. Ayah sering meminjam kaset Suzanna untuk ditonton rame-rame. Aku hanya suka suasananya yang rame oleh sepupu dan paman bibi, tapi tak berani nonton filmnya.
Karena nonton bioskop jarang-jarang jaman dulu, maka rasanya itu spesial.
Dulu waktu nonton bioskop yang favorit adalah beberapa hari setelah lebaran. Kami nonton beramai-ramai bersama bibi, paman, dan para sepupu.
Menuju bioskopnya jika paman sedang malas membawa kendaraan sendiri maka kami bisa naik becak. Entahlah waktu itu sepertinya angkot di Malang masih jarang. Adanya angkutan jenis colt dengan rute terbatas dan becak.
Dan kami yang anak-anak rasanya begitu senang mendapat popcorn dimakan rame-rame lalu mendapati lampu penerangan di bioskop makin lama meredup hingga kemudian gelap hanya diterangi cahaya dari layar.
Entah apa film yang pertama kutonton di bioskop. Masa-masa itu masih ada film "Warkop DKI", entah judul mana yang kami tonton. Biasanya ia juga tayang pas lebaran. Ada juga film-film kolosal seperti "Saur Sepuh Satria Madangkara", "Misteri Gunung Merapi", dan "Tutur Tinular".
Saat itu film kolosal memang marak, bersanding dengan film Suzanna, dan Dono Kasino Indro. Jika disuruh memilih kami lebih suka nonton film kolosal karena rasanya keren. Ada aji-ajian, pertarungan, dan pemeran yang begitu banyak. Hal ini juga didukung oleh kepopuleran drama radio seperti Saur Sepuh,Tutur Tinular, dan Mak Lampir alias Misteri Gunung Merapi. Sayang sekarang malah jarang sekali dibuat film kolosal. Padahal ada banyak potensi film kolosal untuk film Indonesia.
Namun bukan kami yang memilih film apa yang ingin kami tonton. Waktu itu rasanya belum ada batasan usia menonton dan kami juga tak paham saat itu kalau lawakan Dono dan dua temannya itu kerap melecehkan perempuan. Tertawa saat itu menular ketika melihat yang lain tertawa, aku ikut tertawa.
Tak penting waktu itu apa yang kami tonton. Aku juga tak ingat apa aku nonton sepenuhnya dan paham ceritanya atau malah tertidur di tengah penayangan. Yang kuingat adalah kesan menyenangkannya, saat rame-rame nonton bersama saudara, naik becak, dan berbagi makan popcorn.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H