Lihat ke Halaman Asli

Dewi Puspasari

TERVERIFIKASI

Penulis dan Konsultan TI

Suatu Ketika di Dolly

Diperbarui: 2 Desember 2020   20:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lokalisasi di Surabaya jaman dulu (sumber gambar: Tribunnews)

"Ooh jadi ini yang namanya Dolly itu..." Aku memerhatikan sekelilingku. Pemandangan itu baru kali pertama kulihat. Aku merasa was-was sekaligus penasaran. Pengalaman sekian tahun lalu masih kukenang hingga sekarang.

Gang Dolly pada pagi, jelang siang, dan malam hari nampak berbeda. Pada tahun-tahun tersebut Dolly masih beroperasi normal. Belum ada rencana untuk direlokasi ataupun ditutup.

Kunjunganku pertama dalam rangka meliput kampung yang tak jauh dari Dolly yang masuk dalam nominasi kampung terbersih dan terasri tahun sebelumnya. Aku dan kawanku berdecak salut memerhatikan lingkungan RT yang nampak rindang dan asri. Ketika kami hendak kembali ke daerah lainnya, kawanku berbisik ke padaku juga area ini tak jauh dari Dolly. Eh yakin? Ia mengangguk.

Saat itu masih pagi, sekitar pukul 10 pagi. Jalanan masih terasa lengang. Jadi kawanku tak bisa memberikan bukti apabila kami sedang tak jauh dari Dolly. Aku yang sudah beberapa tahun tinggal dan berkuliah di Surabaya juga tak pernah tahu lokasinya. Hanya aku ingat pamanku menyebut nama daerah yang terlarang untuk kukunjungi. Ya nama jalannya ini, aku ingat.

Ketika aku bercerita ke salah satu kawan tentang lokasi kami meliput, ia kemudian memberitahu redaktur foto kami. Ia dijuluki fotografer khusus Dolly, bahkan punya buku koleksi foto tentang Dolly. Foto-fotonya humanis dan memotret sisi lain dari penghuni Dolly. Aku terkagum-kagum dengan upayanya mendekati kaum PSK dan mucikari sehingga mendapatkan foto-foto yang natural.

"Mau ditemani ke sana?" Aku menggeleng. Posku saat itu lebih ke seni budaya, pekerjaan meliput kampung-kampung yang ikut lomba kebersihan hanyalah pekerjaan sampingan. Jika aku ke Dolly, kuatirnya pekerjaan utamaku tak tertangani. Lain kali Pak, aku menolak tawarannya dengan halus.

Kesempatan itu tiba ketika aku kemudian ditugaskan di pos kesehatan. Ada undangan dari komite yang menangani AIDS. Dan agenda kami adalah menjelajahi rumah sakit yang menangani ODHA dan ke tempat-tempat prostitusi.

Sungguh dulu aku masih memiliki stigma tentang ODHA. Kemudian aku melihat sendiri bahwa sebagian dari mereka juga nampak biasa saja. Bedanya mereka perlu rutin mengonsumsi obat. Ketika aku diminta bersalaman dengan salah seorang dari mereka, aku masih merasa cemas.

Lalu kami menuju Dolly siang itu. Inilah pengalamanku langsung masuk ke ruang akuarium. Di sana ada sekitar enam perempuan yang duduk berjajar di sebuah sofa panjang dengan posisi di depannya adalah jendela transparan sehingga konsumen bisa langsung menunjuk untuk memilihnya. Aku melihat jam. Masih jam 2-an, kok sudah buka ya?

Lalu kami ditemui mantan mucikari di sana yang kemudian menjadi semacam mami penjaga di sana. Ia menjadi semacam penganyom di sana bagi para perempuan yang bekerja di sana. Ia jugalah yang menjadi perpanjangan tangan dari komite tersebut, membantu ikut sosialisasi menjaga kesehatan organ intim dan menggunakan kondom untuk meminimalkan risiko penularan penyakit kelamin dan HIV.

Ia mengenalkan kami kepada tiga pekerja di sana. Ada satu yang cantik dan menjadi primadona di tempat tersebut. Ia mengenakan kaus dan celana jeans, nampak kasual. Ada pula yang biasa-biasa saja, namun berdandan seksi dengan baju yang agak minim dan dandanan agak menor.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline