Lihat ke Halaman Asli

Dewi Puspasari

TERVERIFIKASI

Penulis dan Konsultan TI

Kebebasan dan Persamaan Hak Perempuan dalam "Perempuan Berkalung Sorban"

Diperbarui: 8 September 2020   15:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adegan Annisa menunggang kuda menunjukan simbol perjuangannya (sumber: catchplay.com)

"Bagiku kebebasan itu mudah diucapkan, tapi sulit untuk dimengerti" - Annisa

Adegan Annisa menunggangi kuda di tepian pantai yang bersih adalah bagian ikonik dari film "Perempuan Berkalung Sorban". Adegan ini seperti sebuah simbolisasi perlawanan Annisa terhadap budaya patriaki yang terlalu mengukung kebebasan dan ruang gerak perempuan.

Film "Perempuan Berkalung Sorban" memang menceritakan perjuangan kesetaraan hak-hak perempuan, terutama di lingkungan pesantren. Annisa (Revalina S. Temat) sebagai tokoh utama di sini mengalami diskriminasi perlakuan tersebut mulai dari kecil hingga ia dewasa.

Ia batal menjadi ketua kelas karena perempuan dianggap tidak pantas sebagai pemimpin. Ia dilarang naik kuda karena dianggap tidak elok bagi anak perempuan kyai. Puncaknya, ia dilarang mengambil beasiswa berkuliah di Yogyakarta karena ia belum bersuami.

Ayahnya kemudian memaksa menikahkannya dengan anak sahabatnya, anak seorang kyai pondok pesantren yang besar. Ia memberikan alasan, Annisa akan bisa melanjutkan sekolah setelah menikah karena ia sudah bermuhrim. Dengan bujukan itu Annisa pun menerima pinangan Samsudin (Reza Rahadian)

Namun janji itu sekadar pepesan kosong. Samsudin bukan suami yang baik, ia kerap menyiksa Annisa, namun enggan menceraikannya ketika Annisa memintanya. Harapan Annisa nyaris padam hingga pamannya yang juga cinta masa kecilnya, Khudori (Oka Antara) pulang dari menimba ilmu di Mesir.

Suami Annisa sering menindasnya (sumber: Indonesiafilmcenter.com)

Sebuah Film Religi yang 'Berisi'

Sebagai film religi, "Perempuan Berkalung Sorban" berbeda dengan tren film religi yang muncul sejak era "Ayat-ayat Cinta". Ia bukan film romantis berbungkus religi karena kisah percintaan antara Annisa dan Khudori sendiri bukan fokus utamanya.

Film ini mengusung ide tentang kebebasan dan persamaan hak perempuan, terutama di lingkungan pesantren. Annisa memperjuangkan kepada lingkungan keluarga dan lingkungan pondok pesantren yang dikelola keluarganya bahwa perempuan berhak untuk menuntut ilmu dan memiliki kebebasan untuk menentukan cita-citanya.

Oleh karena gagasan persamaan hak ini berlatar belakang pondok pesantren maka poin inilah yang membuat film ini menjadi kontroversial. Padahal sebenarnya gagasan yang diperjuangkan Annisa adalah hal yang umum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline