Tukang tersebut membawa keluarga kecilnya ke tempat ia bekerja. Padahal tempat ia bekerja tak memiliki sarana tempat tinggal yang memadai. Dan tiga anak-anak tersebut sebenarnya perlu bersekolah. Cerita anak-anak tukang ini menjadi satu dari 30 kisah dalam kumpulan sketsa dan cerita Kembangmanggis bertajuk "Anak-anak Tukang".
Aku tertarik dengan sampul buku ini. Ia menggambarkan tiga anak yang nampak riang berjalan tanpa alas kaki di antara rerumputan. Aku suka sketsanya dan kubayangkan buku ini penuh dengan gambar sketsa.
Cerita yang menjadi andalan dalam buku kumpukan sketsa Kembangmanggis ini adalah "Anak-anak Tukang". Ceritanya menggunakan bahasa yang lugas tidak banyak bunga. Ia bercerita tentang realita dan keseharian.
Dikisahkan ada proyek pembangunan di dekat studio si penulis yang tinggal di pulau Dewata. Ia melihat ada tukang bangunan yang memboyong keluarganya dari Jawa. Istri dan ketiga anaknya. Yang paling besar sepertinya usia siswa sekolah dasar.
Bangunan untuk para pekerja tidak ada. Mereka membuat tempat tinggal seadanya. Dari tumpukan kardus ditata sekenanya. Memasak juga seadanya. Di sana juga tidak ada kamar mandi yang layak. Tidak ada air, mereka mengandalkan subak kecil untuk bersih-bersih badan.
Penulis merasa kasihan melihat anak-anak itu. Tapi mereka nampak riang, dan senang membantu bapak ibu. Ketika melihat mereka bahagia, bersenda gurau di sungai kecil bening untuk mandi sekali seminggu, ia paham definisi bahagia bagi tiap orang tak tentu. Mereka bahagia meski di mata orang lain mereka keluarga tak mampu.
Cerita-cerita lainnya juga disampaikan dengan menarik, sesekali menghibur. Aku suka ceritanya tentang kerupuk terung. Kerupuk itu menyelamatkannya dari razia surat kendaraan karena si polisi kasihan melihat motor si ibu penuh kerupuk. Dipikirnya ia penjual kerupuk dan mereka tak tega merazia ibu-ibu yang berjualan kerupuk. Jika ditilang pasti bakal susah si ibu.
Cerita menggelitik dari "Pak Udel", si penjual gerabah. Si penulis bertemu dengan pria yang sarung dan bajunya kurang tertutup sehingga menampakkan udelnya. Ia merasa risih dan meminta si penjual menutup udelnya. Untungnya ia tak marah dan malah meminta maaf.
Cerita-cerita lainnya tak kalah menarik. Apalagi yang menyertakan kuliner di dalamnya seperti sambal matah dan dedaluman, cincau khas Bali. Buku ini kaya inspirasi. Si penulis meski sudah tak lagi muda tetap penuh semangat, ia menjelajah hingga Flores dengan motor seorang diri. Ia wanita yang tangguh dan unik.
Kupikir buku ini kumpulan sketsa. Tapi rupanya sketsa hanya muncul di bagian depan cerita. Seandainya lebih banyak sketsanya malah buku ini bakal lebih menawan.
Cerita-cerita sederhana dengan bahasa lugas rupanya juga tetap mengundang perhatian. Apalagi dilengkapi dengan sketsa. Aku memberinya skor delapan.