Tadi malam (Jumat, 21 Februari) aku, komiker, dan masyarakat umum menyaksikan salah satu film dokumenter yang berjudul "Beta Mau Jumpa".
Nobar dengan tema keberagaman ini menjadi salah satu rangkaian Festival Kebhinekaan 3 yang dihelat sejak Kamis (20/2) hingga Minggu (23/2).
"Beta Mau Jumpa" membahas tentang trauma dan rekonsiliasi pasca konflik agama di Ambon yang berkepanjangan. Konflik ini terjadi selama tiga tahun, sejak tahun 1999 hingga perjanjian damai tahun 2002.
Selama konflik tersebut korban meninggal mencapai ribuan jiwa dan ratusan ribu orang terpaksa mengungsi. Sungguh memprihatinkan.
Dalam film berdurasi sekitar 35 menit diperlihatkan footage tentang kejadian yang memicu konflik tersebut. Diawali dengan pertikaian warga saat Idul Fitri tahun 1999. Kemudian ada provokator yang menyebabkan isu menjadi menjalar ke konflik agama, Islam dan Nasrani.
Sejak itu narasi berubah menjadi liar. Warga pun ketakutan. Mereka yang minoritas di satu wilayah pun memutuskan mengungsi, sehingga kemudian muncul segregasi.
Bertahun-tahun setelah perjanjian damai ditekan, masyarakat masih mengalami trauma. Ote Patty dalam film ini berkisah bahwa ia rindu dengan kampung Batu Merah, tempat ia dibesarkan. Ia kangen dengan para tetangga di sana.
Setelah konflik Ambon menjalar ke konflik agama, ia dan warga nasrani yang tinggal di kampung Batu Merah terpaksa mengungsi. Ia dan keluarganya tak aman apabila tetap tinggal di sana. Mereka kemudian mengungsi di Wisma Atlet Karang Panjang.
Setelah konflik berakhir pemerintah menawarkan para pengungsi untuk kembali atau direlokasi. Karena takut maka mereka memilih direlokasi di Kayu Tiga.
Sejak itu segregasi antara warga muslim dan nasrani makin tegas. Batu Merah dihuni 100 persen muslimin. Sedangkan Kayu Tiga penghuninya semuanya nasrani. Demikian pula di beberapa wilayah di Ambon. Hanya sedikit wilayah yang penghuninya berbeda agama bisa hidup berbaur.
Ote Patty dan sejumlah perempuan serta kaum muda merasa gerah dengan situasi tersebut. Ia menganggap ada sesuatu yang kurang tepat dilakukan pemerintah yang fokus dengan pembangunan fisik usai konflik. Padahal menurut ia yang lebih utama adalah penyembuhan trauma dan rekonsiliasi.