Aku membuka tutup tudung saji. Tidak, aku tak berniat makan lagi. Aku hanya mencari sesuatu yang rasanya begitu saja raib. Ide tulisanku hari ini.
Rasa penasaran membuncah. Aku kembali membuka tudung tersebut. Kuperhatikan makanan satu-persatu yang terhidang di meja. Tempe goreng yang sudah dingin dan sayur lodeh dengan isian terong, nangka muda, dan kacang panjang. Di sebelah mangkuk sayur, terdapat sepiring kecil sambal terasi dan tiga ikan kembung goreng.
Aku mengunyah ide tulisan tentang makanan. Tidak, otakku menolak mengolahnya. Imajinasiku berkata tidak. Lain waktu saja menulis tentang makanan, Kamu sudah terlalu sering menulisnya, pikiranku mengemukakan pendapatnya. Menulis tentang ikan kembung yang gurih dengan dagingnya yang lembut adalah favoritmu, bukan?! Sudah begitu banyak tulisanmu tentang ikan kembung, sang kepala divisi imajinasi menolak tegas ideku menuliskan makanan yang tersimpan di tudung saji.
Bagaimana dengan cerita tentang tempe? Kisah tentang puding tempe, brownies tempe, cokelat tempe, dan serba tempe lainnya? Aku mengusulkan ke divisi imajinasi.
Kepala divisi imajinasi menolak gagasanku. Kisah tentang tempe adalah nostalgiamu tentang kampung halaman? Ia bertanya balik ke diriku. Ia kemudian bertutur, aku akan sentimentil menulis tentang aneka ragam olahan tempe. Ia menebak aku akan membubuhi ceritaku dengan perajin tempe yang olahannya kalah laris dengan toko oleh-oleh yang sekedar menjual barang tanpa mengolahnya.
Tapi cerita itu memang benar? Aku beralasan. Sayangnya divisi imajinasi menolak dengan alasan lagi-lagi karena aku sudah pernah menuliskan tentang kisah tempe tersebut.
Ayolah jujur saja, oleh-oleh Malang yang original seperti apel Manalagi, keripik tempe, dan baksonya yang enak belakangan ini kalah populer dengan oleh-oleh modern yang menggunakan embel nama oleh-oleh khas Malang. Benakku benar. Aku akan sentimentil menulis tentang tempe karena ada rasa kurang rela makanan ini kalah populer oleh kue luar yang disulap seolah-olah jajanan asli kampung halamanku.
Lantas apa yang harus kutulis hari ini? Kurang satu jam lagi sebelum hari berganti? Aku memutuskan untuk bertanya, aku sedang tak punya ide.
Tidak, ide itu tadi ada. Hanya, ia raib seketika. Padahal ide itu hampir meluncur. Entah kemana ide itu raib. Aku kemudian mengakuinya.
Mereka tak menjawabku. Kata mereka, itu urusanku. Mereka hanya bertugas menolak atau menerima dan mengolah ide tersebut.
Tinggal 30 menit lagi sebelum jarum jam menunjukkan pukul 00.00. Oh aku akhirnya menemukan ide tersebut. Ia ada di alam mimpi. Zzz...aku pulas tertidur