Lihat ke Halaman Asli

Dewi Puspasari

TERVERIFIKASI

Penulis dan Konsultan TI

Sulitnya Menyatukan Perbedaan Kultur Bekerja dalam "American Factory"

Diperbarui: 20 Januari 2020   09:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mereka disatukan dalan sebuah pabrik kaca kendaraan (dok. IMDb)

Pasca ditutupnya pabrik Moraine milik General Motors di Ohio tahun 2014, ribuan pekerja lokal pun menganggur. Sebagian di antara mereka turun kelas, kehilangan rumah dan mobil mereka karena tak mampu lagi mengangsur. Hingga kemudian muncul kabar bakal dibukanya pabrik baru dari investor China, sebuah berita bagus dari harapan yang mulai meredup.

Kisah dimulainya babak baru, sebuah pabrik dari China tersaji dalam sebuah film dokumenter berjudul "American Factory". Dalam film sepanjang 110 menit ini diceritakan awal mulai pabrik ini mulai didirikan dan beroperasi. Ceritanya berlatar tahun 2015 hingga 2017.

Untuk membuka sebuah pabrik tentunya perlu persiapan, mengatur mesin hingga beroperasi, menyiapkan material juga menyiapkan ruangan bekerja dan sebagainya. Mereka yang kehilangan pekerjaan pun kemudian berbondong-bondong untuk mendaftar sebagai pegawai pabrik tersebut.

Pabrik tersebut adalah pabrik kaca untuk kendaraan. Namanya Fuyao Glass Industry Group Co. Ltd. Pabrik ini didirikan tahun 1987 dan berpusat di Fujian, China. Konsumen mereka banyak, di antaranya General Motors, Hyundai Motor, Fiat, BMW, Honda, Volkswagen dan sebagainya.

Untuk transfer ilmu maka didatangkan sekitar 200 pekerja asal China. Beberapa atasan juga berasal dari negeri Tiongkok.

Awalnya kehadiran pabrik ini disambut gembira. Ia seperti matahari yang memberikan kabar gembira dan membagi harapan. Namun kemudian masalah mulai muncul. 

Perbedaan bahasa awalnya membuat mereka kesulitan (sumber: IMDb)

Tak banyak pegawai asal Tiongkok yang mampu berbahasa Inggris, demikian pula sebaliknya. Perbedaan kultur pun mulai menimbulkan sekat.

Tak hanya soal bahasa, atasan dan pegawai Tiongkok mulai mempermasalahkan budaya kerja rekan asal Amriknya. Mereka menganggap rekan kerja lokal sebagai bangsa pemalas. Pegawai Tiongkok terbiasa dengan pekerjaan lembur tanpa honor tambahan dan minim hari libur. Sedangkan pegawai Amerika mengikuti aturan buruh, yaitu libur dua hari dan ketika lembur pun dibayar.

Masalah mulai pelik ketika standar keamanan bekerja pun dipertanyakan.  Ada beberapa tempat dan tahapan proses yang rawan kecelakaan kerja. Masalah-masalah yang dihadapi kedua belah pihak yang awalnya seperti gunung es pun semuanya kemudian menyeruak. Akankah Fuyao akan bertahan atau menyudahi investasinya di Amerika?

Cerita tentang pabrik ini menarik karena memerlihatkan perbedaan kultur bekerja yang tajam serta bagaimana menyiasatinya. Steven Bognar dan Julia Reichert berupaya adil dengan memberikan porsi untuk tiap-tiap kubu untuk bercerita sesuai sudut pandangnya secara seimbang. Sebenarnya tak ada keberpihakan di sini, tak ada kubu yang antagonis maupun protagonis karena sebenarnya tiap-tiap pihak memiliki alasan tersendiri dan memiliki tujuan baik.

Dokumenter ini dibuat dengan mengikuti dari awal sebelum pabrik baru akan dibuka, pada saat operasional dan ketika konflik mulai memuncak. Kegiatan operasional di pabrik pun disorot, demikian juga pada saat rapat dan pengumpulan karyawan, juga ketika tiap-tiap tokoh bertutur serta bersosialisasi. Gaya tiap tokoh bercerita di sini dibuat sehingga berkesan monolog.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline