Lihat ke Halaman Asli

Dewi Puspasari

TERVERIFIKASI

Penulis dan Konsultan TI

Waktu Bekerja Berkurang, Karyawan Lebih Bahagia?

Diperbarui: 9 November 2019   11:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Workaholic di Jepang menyebabkan rentan bunuh diri|Sumber: Hiroo Yamagata via canadiandimension.com

Dunia terus berubah, demikian juga dengan kebiasaan dan aturan bekerja. Beberapa hari lalu aku tertarik dengan judul berita di Kompas tentang pengurangan waktu bekerja di Microsoft Jepang. 

Dari yang lima hari menjadi empat hari kerja. Uniknya disebutkan di dalam berita tersebut produktivitas karyawan malah meningkat 40 persen dibandingkan sebelumnya

Berita ini berhasil membuatku tercenung. Aku sempat mencicipi bekerja di sebuah perusahaan Jepang. Di sana kami dibiasakan hidup disiplin dan bekerja keras. Kami datang pukul delapan dan pulang pukul lima.

Awal kali pertama masuk bekerja, aku melihat beberapa karyawan lembur untuk menyelesaikan pekerjaannya. Tapi kemudian aku melihat perubahan, karyawan malah disarankan untuk bekerja efektif dan menghindari lembur. 

Dengan tidak adanya lembur maka perusahaan menilai jadi lebih efisien. Kami malah diminta menulis alasan apabila kami lembur. Tapi waktu itu biasanya tetap ada yang lembur.

Ya, selama ini kupikir perusahaan Jepang itu konservatif. Budaya bekerjanya disiplin dan workaholic yang seperti mendarah daging. Mungkin memang tetap seperti itu, hingga kemudian manajemen berbagai perusahaan merasa perlu untuk mengubah kebiasaan.

Di antara negara Asia, karyawan Jepang paling banyak terancam stres, depresi, dan rentan bunuh diri. Mereka memiliki standar kerja dan tuntutan produktivitas yang begitu tinggi. Untuk itu mereka rela bekerja berjam-jam dalam sehari. Cuti pun jarang diambil.

Peristiwa mengenaskan karena kelebihan bekerja disebut karoshi. Ada banyak alasan kenapa mereka gila bekerja. Ada yang segan jika pulang tepat waktu, mereka dianggap tak loyal jika tak bekerja begitu keras, dan sebagainya. Meskipun lembur tak dibayar mereka pun melakukannya.

Sebenarnya mereka tertekan dan yang tidak tahan pun kemudian melakukan keputusan yang salah dengan mengakhiri hidupnya sendiri.

Selama bertahun-tahun Jepang masuk sebagai tiga besar negara yang angka bunuh diri pekerjanya tinggi sedunia. Fenomena mengenaskan ini mulai terdeteksi tahun 1987. 

Di dalam laporan statistika disebutkan rata-rata ada sekitar dua ribu korban bunuh diri per tahunnya. Namun realitanya angkanya lebih dari itu. Pada tahun 2018 angkanya masih tinggi, yakni 2.018 korban bunuh diri. Korban lainnya yaitu ada yang lumpuh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline