"Tolong Nenek ya Nak?!" Seorang nenek yang kukenal sebagai penjual tempe itu mengagetkanku. Ia mencengkeram lenganku dengan jemarinya yang kurus. Aku yang sedang berjalan pun otomatis menghentikan langkah.
Kuperhatikan si nenek baik-baik. Ia nampak lebih tua dan lebih rapuh dari yang terakhir kuingat. Aku biasanya suka membeli tempe yang dijualnya. Tempe yang dijualnya satuan, dikemas dalam daun pisang segitiga. Aroma dan rasanya berbeda dengan tempe pada umumnya.
Ia kemudian bercerita kucing betina miliknya tadi pagi tertabrak motor. Ia tak selamat. Padahal, ada dua anak kucingnya yang masih kecil. Umurnya baru sekitar empat mingguan.
Aku melipat bibirku. Aku merasa kasihan akan nasib kucing tersebut. Tapi aku merasa was-was. Aku takut akan kelanjutan kata-kata si nenek.
"Jadi minta tolong, Neng ayu. Nenek bingung mau minta tolong ke siapa lagi. Nenek sudah tak sanggup memelihara anak- anak kucing," keluhnya.
Aku gelisah. Aku ingin menolak. Aku sendiri bekerja, berangkat pagi dan pulang petang. Apakah aku sanggup merawat mereka?
Nenek itu kemudian menggenggam tanganku. Wajahnya penuh harap. Aku tak tega menatapnya.
Aku pun kemudian mengangguk dengan berat. Ia nampak bersuka cita. Ia kemudian mengangsurkan keranjang bambu yang bertutup. Di dalamnya telah dilapisi kain. Dari celah-celah aku bisa melihat dua pasang mata berwarna kehijauan.
Selamat datang kucing-kucing ke kehidupanku.
- - -
Aku letakkan tas rotan itu di teras. Sampai di rumah aku baru merasa kebingungan, di mana kedua kucing itu akan tinggal. Di teras rasanya tidak aman. Jangan-jangan ada kucing preman datang dan mengganggu mereka.
Aku meletakkan mereka di ruang depan. Kubuka keranjang rotan dan aku bisa melihat dengan jelas kado dari si nenek. Yang satu kucing hitam dengan kaki dan wajah putih. Lucu, kayak panda. Lainnya kucing oren. Waduh kucing onar nih.
Mereka mulai memeong-meong dengan suara yang lemah. Wah apakah mereka rindu dengan induk mereka?