Lihat ke Halaman Asli

Dewi Puspasari

TERVERIFIKASI

Penulis dan Konsultan TI

Ramadan dan Semangat Keberagaman

Diperbarui: 30 Mei 2019   23:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjalani puasa Ramadan di tengah keberagaman makin mendewasakan (dokpri)

Apa sih yang membedakan hari-hari pada bulan biasa dengan bulan Ramadan? Di luar ibadah yang bersifat pribadi seperti berpuasa dan sholat tarawih, rasanya tak banyak yang berubah di lingkungan pekerjaan. Tapi tetap ada momen-momen khusus yang berkesan selama bulan Ramadan, antara aku dan mereka yang berbeda suku dan berlainan agama.

Aktivitasku bekerja sehari-hari tak banyak berubah pada saat bulan Ramadan. Yang kelihatan mencolok adalah jam bekerja yang usai satu jam lebih cepat. Beberapa stan di kantin juga masih berjualan makanan dan minuman karena kami bekerja di lingkungan yang heterogen.

Asyiknya bekerja di lingkungan yang heterogen, kami lebih bersifat terbuka. Kawan-kawanku ada yang asli Betawi, orang Medan, urang Sunda, memiliki garis Bali, berdarah Padang, wong Jawa, dan Jawa-Sunda sepertiku. Alhasil pada bulan Ramadan ini kami suka bercerita tentang tradisi berpuasa dan makanan yang dihidangkan saat lebaran.

Oleh karena di kantor kami ada yang beragama nasrani dan hindu, maka kami terbiasa melihat kawan-kawan kami yang mengambil air di dispenser, membuat minuman, dan minum di kubikel di sampingku. Aku tahu mereka menghargai kami yang berpuasa dan tak ada niat untuk menggoda kami, jadinya kami santai-santai saja. Toh kami bukan lagi anak kecil sehingga tidak mudah tergiur melihat mereka yang makan minum di depan kami.

Yang tidak berpuasa juga bukan hanya dari mereka yang berlainan agama. Kawan-kawanku yang sedang berhalangan puasa juga biasa mondar-mandir mengambil minuman dan meminum di mejanya. Untunglah tak ada yang tergoda atau marah. Toh ibadah puasa sifatnya adalah pribadi, sehingga tidak perlu dipaksakan orang-orang yang tidak berpuasa juga berlaku sama.

Omong-omong tentang makan siang, mereka yang berlainan agama dan sedang berhalangan puasa juga tidak perlu merasa was-was kesulitan mendapat makanan. Kantin di bawah masih buka. Masih ada beberapa yang berjualan. Pembeli bisa menyantap makanan di tenda yang telah ditutup kain sebagian.

Kami yang ada di lantai dua punya cara tersendiri untuk bisa makan siang. Kami patungan. Ada salah satu karyawan senior yang seperti Ibu bagi kami. Ia sangat suka memasak dan menyediakan makan siang buat yang tidak berpuasa.

Ia beragama nasrani sehingga memang tidak berpuasa. Karyawan beda divisi pun diajaknya untuk makan siang yang biasanya disambut mereka dengan suka cita. Aku dan beberapa kawanku yang berhalangan puasa juga beberapa kali turut bergabung. Kami ikut membantu menata makanan dan kemudian membereskannya.

Menunya sederhana. Kadang-kadang nasi goreng sambal ijo dengan teri. Atau sup bakso ikan dengan tempa goreng. Di lain waktu ada es cincau dengan sirup melon dan nasi tuna, dan sebagainya. Meski sederhana kami menyukainya dan merasa tertolong. Kami makan di meja ruang rapat kecil dan biasanya bertemu dengan berbagai orang di luar divisi kami. Hal ini menyenangkan, kami bisa lebih saling mengenal.

Ketika aku sudah kembali berpuasa, kadang-kadang aku dibawakan nasi goreng teri atau es cincau untuk kusantap saat berbuka puasa. Aku merasa senang karena jadi tak perlu pusing mencari takjil atau memasak.

Ketika aku berulang tahun aku juga merasa senang karena mendapat hadiah mukena dari rekanku yang berlainan agama. Katanya itu hadiah ulang tahun sekaligus untuk menyambut lebaran. Aku menggunakannya saat tarawih. Bahannya adem sehingga nyaman untuk tarawih.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline