"Mari mbak, dilihat-lihat dulu suvenirnya". Seorang pria paruh baya menata-nata barang dagangannya, sementara seorang Ibu asyik membandingkan produk kerajinan satu dengan lainnya. Ia kemudian asyik menawar sebelum memutuskan membeli tiga buah suvenir. Suvenir dengan dominan warna kuning itu berbahan utama belerang. Namun, aroma khasnya sudah tak begitu menyengat.
Benda-benda kerajinan di depanku begitu beragam. Ada yang berupa hiasan dinding dan hiasan meja. Bentuknya variatif. Belerang itu ada yang diukir membentuk tulisan I Love Banyuwangi. Bentuknya ada pula yang seperti kaligrafi, bunga, dan miniatur keranjang berisi belerang. Aku menanyakan harganya. Tergolong terjangkau dan wajar, dengan kisaran Rp 10 - 30 ribu.
"Jauh-jauh ke sini, beli kerajinan belerang buat oleh-oleh," ujar si bapak tua tersebut.
Produk kerajinan belerang ini jauh lebih variatif dibandingkan ketika lima tahun lalu aku ke Kawah Ijen. Bapak tua itu dulunya juga seorang penambang belerang.
Mengingat usianya yang tak lagi muda dan tenaganya yang seperti dulu, ia lebih memilih berjualan suvenir dari belerang. Hasilnya kalau dihitung-hitung tak jauh beda dengan ketika jadi penambang, bahkan bisa jadi lebih menguntungkan ketika pengunjung lagi ramai.
Benakku kemudian memutar kenangan lima tahun silam. Dulu, pada kunjungan pertamaku ke sini, aku masih sering berpapasan dengan para penambang, tapi kali ini aku tidak bertemu dengan mereka.
Mungkin aku kesiangan. Atau hujan-hujan seperti ini mereka memutuskan kembali lebih awal. Aku hanya melihat sebuah keranjang pikul yang biasanya mereka gunakan untuk membawa hasil tambang mereka ketika akhirnya tiba di puncak.
Rupanya para penambang itu masih ada meskipun jumlahnya tidak sebanyak dulu. "Mbaknya naiknya kesiangan. Jam 1-an penambang biasanya sudah berangkat," ujar salah satu penambang yang kutemui di pos peristirahatan. Aku jadi malu. Hujan deras dari malam sebelumnya hingga Subuh membuatku ragu untuk berangkat. Baru sekitar pukul enam aku tiba di loket, start pendakian.
Sambil mengumpulkan tenaga di pos peristirahatan, aku mendengarkan cerita-cerita dari penambang tersebut. Sesekali ia membujukku untuk naik troli, eh ada juga yang menyebutnya taksi hihihi.
Pekerjaan sampingan penambang sejak musim wisatawan memang bertambah. Selain membuat dan berjualan suvenir dari belerang, kini mereka menawarkan untuk mengangkut pengunjung hingga ke puncak, bolak-balik, atau dari puncak menuju pos kedatangan. Memang sih aku beberapa kali melihat pengunjung yang naik troli. Satu troli kadang-kadang diisi dua penumpang jika arahnya ke bawah.
Enak kali ya naik troli, tidak perlu capek untuk mendaki atau untuk turun, pikirku. Aku kemudian tertawa terbahak-bahak ketika mendengar nominalnya.