"Kera Ngalam?" Kata seorang pria yang duduk di dekatku di ruang tunggu. Kami di antara banyak penumpang yang sedang menunggui kereta yang akan membawa kami kembali ke ibu kota. Aku mengangguk. Ia lalu melanjutkan, "Salam satu jiwa!" Aku spontan tertawa. Kata-kata itu sering terdengar jika aku bertema sesama perantau. Kata-kata yang merekatkan kami dengan kampung halaman.
Sejak kecil aku terbiasa dengan bahasa khas Malang. Ada dua kelompok kosakata yang digunakan sehari-hari. Bahasa gaul berupa boso kiwalan atau walikan alias bahasa kebalikan dan boso Malang.
Bahas yang kedua dulu deh. Boso Malang itu khas. Meskipun masuk wilayah Jawa Timur, tapi ada banyak kosakata yang berbeda dengan bahasa daerah tetangganya, seperti Blitar, Surabaya, Bojonegoro apalagi Banyuwangi.
Jika Blitar dan Tulungagung suka menggunakan kata 'piye' untuk bertanya. Seperti 'piye tho?', 'lha piye'. Temanku dari Bojonegoro suka menggunakan 'ta', seperti 'iyo ta?'. Kalau kera Ngalam sukanya menggunakan 'a' sebagai pengganti kata 'kah'. Contohnya begini 'Mrono a?', maksudnya kesanakah?
Bahasa lainnya yang khas Malang itu di antaranya:
- Ayem : melempem
- Dhulin : bermain
- Gak maen : tidak becus
- Kendho : telat berpikir, bodoh
- Koen : kamu
- Licek : penakut