Sapa suru datang Jakarte
Sapa suru datang Jakarte
Sandiri suka, sandiri rasa
Eh doe sayang (dari Lagu Sapa Suru Datang Jakarta karya Melky Goeslaw)
Siapa suruh datang Jakarta? Aku meringis jika teringat lagu jadul tersebut. Duabelas tahun aku merantau ke Jakarta dan rasanya sangat jarang bisa menikmati perjalanannya, kecuali saat malam telah larut, hari Minggu dan liburan lebaran. Jalanan ibukota selalu macet dan makin macet. Bahkan, kemacetan mulai merambah ke lingkungan tempat tinggal. Menuju tempat kerja menjadi sebuah tantangan tersendiri tiap harinya.
Ketika baru pindah di bilangan Cijantung menuju Salemba ataupun Cempaka Putih sekitar tahun 2012 aku masih bisa sedikit bersantai, berangkat pukul 06:45 WIB dan bisa tiba satu jam kemudian dengan naik motor berdua dengan pasangan. Kini boro-boro bisa tiba 1,5 jam kemudian.
Ketika ada rapat di kantor klien dan lokasinya dilewati atau dekat dengan commuter line, maka aku pun rela berdesak-desakan di gerbong commuter lineuntuk mencapai lokasi. Ya tak apa-apalah tergencet sana-sini daripada terjebak macet dan terlambat. Tapi ketika rapatnya berlangsung di lokasi yang berada di tempat yang jarang dilalui angkutan umum dan dimulai pukul 07.30 WIB, aku pun sudah tidur memikirkannya. Bagaimana strategiku ke sana, naik apa, dan jam berapa paling lambat ku berangkat? Bahkan suatu kali aku sampai tidak tidur karena aku cemas takut terlambat. Pukul lima pagi aku pun segera berangkat dengan berbagai mode transportasi. Sekitar tengah hari aku merasa mual dan masuk angin gara-gara kurang tidur. Kombinasi rapat pagi dan kondisi Jalanan yang macet membuatku berkeluh kesah. Aku yakin banyak juga yang mengalaminya dan merasa menderita, namun bagaimana lagi, tuntutan ekonomi membuat orang-orang bertahan.
Menurutku warga Jakarta yang setiap harinya bepergian itu hebat. Mereka orang-orang yang tabah dan kuat mental. Sebagian dari mereka rela mengorbankan kenyamanan, berdesak-desakan di gerbong kereta, mengantri panjang menunggu kehadiran bus TransJakarta, atau merasakan kemacetan Jakarta dengan naik motor atau mobil pribadi.
Padahal kemacetan itu memberikan dampak di berbagai aspek, dari aspek ekonomi hingga aspek mental dan psikologi para pengguna Jalanan. Kemacetan bisa membuat orang tertekan, stress, kelelahan, dan tidak bahagia. Kondisi jalanan yang mampat juga membuat pemborosan bahan bakar minyak dan peningkatan polusi udara.
Jakarta setiap tahunnya memang semakin macet. Jumlah motor dan mobil terus bertambah. Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2015, jumlah kendaraan roda dua mencapai 13,9 juta dan kendaraan roda empat berkisar 3,5 juta. Sementara menurut Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) ada sekitar 1,06 juta dan 1,1 juta mobil yang terjual pada tahun 2016 dan 2017, dimana sebagian di antaranya pemiliknya merupakan penduduk Jakarta.
Kenaikan jumlah kendaraan ini tak diimbangi dengan penambahan ruas jalan. Alhasil daya tampung jalan tak bisa mengimbangi jumlah kendaraan yang terus menanjak. Tak terbayangkan bagaimana Jakarta lima tahun kemudian apabila kondisi seperti ini berlangsung terus-menerus. Apalagi kini kemacetan tersebut tidak hanya terjadi di jalan raya ataupun jalan protokol, melainkan jalan-jalan di sekitar tempat tinggal. Terkadang bisa sampai setengah jam sendiri keluar dari kemacetam jalan sekitar tempat tinggal menuju jalan raya. Sungguh luar biasa!