Lihat ke Halaman Asli

Dewi Puspasari

TERVERIFIKASI

Penulis dan Konsultan TI

Sang Penari dan Hari Film Nasional

Diperbarui: 30 Maret 2017   21:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sang Penari yang diperankan apik oleh Prisia Nasution (dok http://www.salihara.org)

Menjadi Ronggeng itu bukan hanya mempertunjukkan kebolehan menari, Ronggeng adalah perlambang kehidupan dan jati diri Dukuh Paruk. Dengan menjadi Ronggeng maka Engkau dapat membalas dosa kedua orang tuamu.

Kalian tak asing dengan penggalan kisah di atas? Yup kisah tersebut adalah bagian dari kehidupan penari cantik bernama Srintil. Sejak kecil ia gemar menari, namun baru pada saat beranjak dewasa ia sadar jika menjadi penari Ronggeng bukan hanya tentang menyalurkan hobinya menari, ia harus mengorbankan segalanya untuk menjadi seorang Ronggeng.

Oleh karena hari ini diperingati sebagai hari film nasional, maka kali ini saya ingin mengupas film Indonesia yang diangkat dari novel terkenal karya Ahmad Tohari, Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala). Tokoh utamanya adalah Srintil si penari ronggeng dan pemuda tempat ia menggantungkan cinta platonisnya, Rasus.

Film Sang Penari yang dibintangi oleh Prisia Nasution dan Oka Antara sebagai Srintil dan Rasus ini disutradarai oleh Ifa Isfansyah dan berhasil memboyong berbagai penghargaan pada tahun 2011. Sang Penari meraih 10 nominasi Festival Film Indonesia dimana berhasil memboyong empat penghargaan utama, yaitu film terbaik, sutradara terbaik, aktris terbaik, dan aktris pendukung terbaik (Dewi Irawan). 

Mengapa film Sang Penari patut diperhitungkan dan masuk daftar film nasional favorit saya? Selain karena didukung oleh jajaran pemeran yang aktingnya tak lagi diragukan, cerita yang diangkat menarik, tentang bagaimana seorang perempuan menyikapi berbagai permasalahan yang menderanya, hingga ia yang biasa dilecehkan karena aib kedua orang tuanya, kemudian berbalik menjadi perempuan yang ‘berkuasa’ di kampungnya. Setelah menonton film ini saya jadi suka akan sosok Prisia Nasution dan menonton berbagai filmnya seperti yang bulan lalu dirilis yaitu Interchange.

Bagi yang belum pernah menonton filmnya ataupun membaca filmnya, Sang Penari berkisah pada Srintil yang masa kecilnya seperti anak perempuan pada umumnya. Ia anak yang ceria dan berteman dengan Rasus. Ia mengagumi sosok Surti, Ronggeng di dukuhnya, dan ingin pandai menari seperti Surti. Hingga suatu saat ayahnya, Santayib, meracuni sebagian penduduk dukuh lewat tempe bongkreknya, termasuk Surti si Ronggeng. Kedua orang tuanya kemudian bunuh diri dengan menyantap bongkrek tersebut sehingga si Srintil menjadi yatim piatu dan diasuh kakeknya, Sakarya.

Srintil besar dari bayang-bayang kelam perbuatan kedua orang tuanya. Sehingga sebagai laku bakti dan karena memang gemar menari, maka iapun memutuskan menjadi Ronggeng. Sejak itu kehidupannya tak sama lagi, termasuk hubungannya dengan Rasus.

Film ini berlatar di desa kecil di Banyumas yang miskin dan terbelakang.  Bagi penduduk dukuh tersebut, Ronggeng adalah nyawa dari dukuh tersebut karena dengan adanya Ronggeng maka berarti ada tawaran berbagai pertunjukan. Kisah Sang Penari ini juga berlatar sosial politik dimana para penduduk dukuh Paruk tidak tahu-menahu jika dukuhnya menjadi salah satu pendukung pergerakan PKI dikarenakan para warga dukuh tersebut bodoh dan tidak bisa membaca.

Di sini tokoh utama wanita, Srintil, menunjukkan perkembangan karakternya. Ia yang awalnya hanya ingin membalas dosa atas perbuatan kedua orang tuanya, kemudian paham jika menjadi ronggeng itu bukan sekedar menari, namun juga melayani nafsu lelaki. Ia juga sadar kecantikannya itu bisa digunakannya untuk mempengaruhi para laki-laki dan mendapatkan segala keinginannya. Namun ketika cinta sejatinya malah menolaknya, ia ingin memperbaiki citra dirinya. Sayangnya upayanya itu terlambat dengan adanya peristiwa pembasmian pemberontakan PKI tersebut.

Memang ada perbedaan antara kisah Srintil versi novel dan versi filmnya. Versi filmnya, penutupnya bisa dimultitafsirkan, sedangkan versi novelnya sangat tragis, bahkan membuat saya sangat sedih pasca menuntaskan novelnya.

Hari Film Nasional, Perempuan, dan Tema Merayakan Keberagaman Indonesia

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline