Lihat ke Halaman Asli

Dewi Puspasari

TERVERIFIKASI

Penulis dan Konsultan TI

Perempuan Berkaryalah, Jangan Terburu Nikah Muda

Diperbarui: 25 Agustus 2016   21:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: idntimes.com

Pada jaman kakek nenek, para perempuan memang dinikahkan setelah mereka menjalani pubertas. Namun untuk saat ini rasanya amat disayangkan jika perempuan masa kini melepas cita-cita demi segera menikah dengan pria idaman.

Nenek bercerita jika usia 14 tahun ia sudah dinikahkan oleh orang tuanya. Saudara-saudaranya malah ada yang nikah lebih muda. Seorang saudara jauh bercerita ia dipanggil orang tuanya sehabis main di sungai dan kemudian dipakaikan baju cantik dan diberi lipstik. Eh ternyata ia dinikahkan dengan pria yang usianya sebaya dengan ayahnya. Ia bingung karena saat itu usianya terbilang masih kanak-kanak, begitu pula kelakuannya, meskipun badannya sedikit bongsor. Nenek berkata jika perempuan zaman dulu tidak segera menikah maka bisa dibilang perawan tua dan bisa menjadi bahan gunjingan di kampung. Orang tuanya juga pasti resah sehingga anak perempuan terlihat besar sedikit langsung dinikahkan.

Setelah menikah, rasanya nenek tidak pernah berhenti hamil dan melahirkan. Ada sepuluh putra-putrinya, satu di antaranya meninggal sesaat setelah dilahirkan. Alhasil nenek cukup kerepotan mengurus anak-anaknya dan semakin seolah tak pernah cukup beristirahat ketika kakek meninggal saat dirinya masih muda.

Oleh karena tidak memiliki pendidikan tinggi, nenek pun mengandalkan kemampuan memasaknya. Ia berjualan kue-kue untuk menyambung hidupnya dan sembilan putra-putrinya. Mungkin melihat nasib ibunya yang penuh kerja keras, maka bibi dan ibu pun tidak ada yang menikah muda. Rata-rata menikah di atas 20 tahun setelah menuntaskan pendidikan menengah atas dan memperoleh pekerjaan. Ibu bercerita ia menikmati masa remajanya. Ia juga senang merasakan bekerja dan mendapat gaji pertama.

Perempuan juga bisa ikut berkontribusi lingkungan misalnya bertanam bakau di pulau Tidung (dokpri)

Ketika menimba ilmu di bangku SMA, kami mendapatkan pengetahuan tentang Undang-undang pernikahan, yaitu Undang-undang No 1 Tahun 1974. Dalam undang-undang pernikahan disebutkan batas minimal perempuan dan pria untuk menikah masing-masing 16 dan 19 tahun. Kami tersenyum karena saat itu usia saya dan teman-teman rata-rata 16 tahun. Jadi kami sudah patut untuk menikah.

Wah rasanya susah membayangkan kami yang masih berseragam abu-abu untuk menikah. Pikiran kami masih khas remaja, masih suka baca komik, menonton film kartun, dan menonton konser musik. Memasak dan menyetrika pakaian rasanya masih ala kadarnya. Alhasil rencana menikah jauh dari pikiran saya dan kawan-kawan dekat. Kami masih ingin lulus SMA, meneruskan ke perguruan tinggi favorit, bekerja dan bersenang-senang ala anak muda. Menikah memang kata orang-orang menyenangkan, tapi kami saat itu berpikiran menikah bukan hanya urusan melegalkan hubungan dengan pria idaman, namun tanggung jawabnya sangat besar. Mumpung masih muda, saya masih ingin menikmatinya dan berkarya. Oleh karena saya menyukai hal-hal berbau seni, maka saya pun memilih aktif di ekskul tentang seni.

Waktu mahasiswa asyiknya aktif di organisasi dan UKM (dok. UKM Fotografi ITS)

Memang ada juga yang berpikiran perempuan lebih baik segera nikah. Ada beberapa teman SMA kami yang langsung menikah saat lulus. Nah, saat berkuliah, ajakan untuk menikah muda semakin kuat.

Sebenarnya saya agak terheran-heran dengan tren menikah muda di kalangan mahasiswa. Oleh karena orang tua dan bibi mengingatkan untuk meraih pendidikan setinggi mungkin. Mereka yang pro, mengampanyekan berbagai manfaat menikah muda, seperti menjauhi zina dan bakal lebih dekat dengan si anak karena usianya yang tidak terlampau jauh. Bahkan ada pula yang menjadi biro jodoh dadakan bagi mereka yang ingin segera menikah, tapi belum bertemu calonnya.

Alhasil ada beberapa senior dan kawan-kawan yang menikah pada tahun kedua kuliah. Saya pun dikompori-kompori untuk segera menikah. Hei, memangnya mau nikah dengan siapa belum ada calonnya hehehe, saya berkelit. Saya belum terlalu memikirkan urusan pernikahan, boro-boro menikah, urusan praktikum masih bikin mumet. Saya masih berfokus menyelesaikan kuliah dan aktif di berbagai organisasi mahasiswa.

Saya tidak pro dan kontra teman-teman yang menikah saat masih berkuliah. Usia mereka sudah melebihi batas usia minimal menikah meskipun mereka masih berisiko terkena kanker serviks dan kanker rahim dua kali lipat karena organ reproduksi mereka belum cukup matang pada usia 15-20 tahun. Risiko kanker ini lebih besar jika usia pernikahan semakin muda, yaitu 10-14 tahun. Risiko kematian saat melahirkan juga masih tinggi jika menikah di bawah 20 tahun. 

Memang ada kekhawatiran wanita yang menikah muda memiliki psikologi yang belum matang untuk membesarkan anak dan rentan mengalami KDRT. Sehingga Badan Kependudukan dan Keluarga Bencana Nasional (BKKBN) dalam rangka Hari Keluarga Nasional (Harganas) 2016 juga menggalakkan sosialisasi usia nikah ideal dan agar perempuan menunda usia pernikahannya, setidaknya di atas usia 20 tahun dan 25 tahun bagi prianya.

Teman-teman yang menikah muda ada di antaranya yang lalai bahwa mereka menikah dan memiliki tanggung jawab atas anak dan biaya hidup mereka. Beberapa kawan yang menikah muda menitipkan anak-anak mereka ke orang tua, termasuk masih memerlukan bantuan orang tua untuk biaya hidup sehari-hari. Memang tidak semua orang tua keberatan diminta mengurus cucu mereka, namun jadi kasihan seandainya orang tua tersebut menjadi kerepotan dan tidak punya pilihan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline