Era digital membuat segala hal lebih mudah. Teknologi informasi (TI) terbukti telah memberikan nilai tambah di segala bidang, termasuk membuka peluang hadirnya berbagai profesi baru dan usaha di bidang aplikasi teknologi.
Saya sebagai pengguna aplikasi TI selalu tertarik akan hal-hal baru berbau TI, meskipun tidak seluruh aplikasi tentunya saya coba, hanya yang sesuai kebutuhan. Setidaknya mengetahui sesuatu hal baru tentang TI akan membuka wawasan, siapa tahu ada aplikasi yang bermanfaat dan mempermudah dalam hal pekerjaan atau sesuai dengan minat.
Pada Kafe BCA kali ini, Rabu (1/6) bertemakan inovasi teknologi sebagai nilai tambah. Pada era digitalisasi ini BCA siap mendukung inovasi teknologi demi meningkatkan nilai tambah
Setelah dihibur dengan penampilan Halo BCA maka para peserta yang sebagian di antaranya para mahasiswa, mendapat pemaparan dari para narasumber. Mereka adalah Hermawan Thendean (Executive Vice President IT BCA), Romi Satrio Wahono (dosen, peneliti, dan technopreneur), Enda Nasution (blogger dan pendiri Sebangsa.com), Yanty Wijaya (Manajer pemasaran dan komunikasi Dwidayatour), dan Fariz Tadjoedin (Juara 1 Finhacks 2016).
Pada acara yang dibuka oleh Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja ini, ia bercerita tentang masuknya teknologi informasi pada kehidupan sehari-hari, dari bangun pagi seperti penggunaan alarm hingga saat tidur seperti penggunaan aplikasi agar bisa deep sleep. Alhasil teknologi informasi ini bukan hanya menunjang operasional sebuah perusahaan seperti perbankan, akan tetapi juga memberikan nilai tambah bagi kehidupan sehari-hari, sehingga pemanfaatan TI semakin berkembang dan luas. Di perbankan sendiri seperti BCA, TI jelas memberikan nilai tambah seperti memperluas segmen pelanggan.
Romi Satria Wahono menyebutkan potensi besar di Indonesia untuk investasi di bidang TI. Di antaranya adalah jumlah penduduk yang besar sebagai pangsa pasar, pengeluaran untuk TI sangat besar, dan biaya SDM yang murah untuk tenaga kerja TI Indonesia.
Selanjutnya ia membahas tentang enam mitos penyebab kesalahan inovasi TI. Keenam mitos tersebut adalah ingin menerapkan TI tapi belum mengetahui kebutuhannya; kualitas software diukur dari teknologi bukan kebutuhan atau idenya; segala ide dan kebutuhan perusahaan dipikirkan oleh divisi TI; kemampuan coding merupakan kemampuan utama dari pengembang; membuat aplikasi seperti yang telah ada; dan ingin sukses di bisnis software akan tetapi tidak berminat di dalamnya.
Menurut Romi, ide dan kebutuhan adalah dasar utama dari inovasi di bidang TI. Oleh karenanya seorang technopreneur yang sukses yang mampu menangkap kebutuhan dari masyarakat dan kemudian memberikan solusi. Ia mencontohkan aplikasi ojek yang sebenarnya bagi seorang pengembang tidak sulit. Akan tetapi idenya itu yang mahal dimana mampu menjawab kebutuhan masyarakat perkotaan saat ini. Kunci sukses lainnya dari seorang technopreneur yaitu menanamkan kepercayaan dan bagaimana ia membidik segmen dari aplikasinya tersebut.
Yanty Wijaya dari Dwidaya Tour mengungkapkan peran TI bagi industri travel. Saat ini usaha tur dan travel masih diminati oleh masyarakat, namun untuk itu pihaknya juga terus berinovasi dan memanfaatkan teknologi. Ada sistem tersentralisasi dan iTank sehingga proses pemesanan tiket dan hotel bisa terlayani dengan cepat dan dengan berbasiskan harga yang kompetitif. Ada juga integrated payment solution untuk memudahkan pembayaran klien dan aneka tur yang bisa dilihat secara real time. Ke depan, Dwidaya Tour akan meluncurkan aplikasi mobile.
Lantas bagaimana TI dari sisi blogger dan netizen. Enda Nasution yang menjadi blogger sejak tahun 2001 bercerita tentang keaktifan masyarakat Indonesia dalam menggunakan media sosial sehari-hari. Hingga saat ini Indonesia menempati nomor empat pengguna facebook terbanyak dan Jakarta menjadi kota paling tercerewet dalam twitter. Sehingga masyarakat Indonesia dan media sosial sekarang sulit dipisahkan.