Lihat ke Halaman Asli

Dewi Puspasari

TERVERIFIKASI

Penulis dan Konsultan TI

Jelajah Kopi dari Kopi Aceh Hingga Kopi Toraja

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14321707851256125425

[caption id="attachment_419013" align="aligncenter" width="500" caption="Kenangan Icip-icip Kopi Ake Belitung Sebelum Warungnya Ditutup"][/caption] Tak puas singgah ke suatu daerah tanpa mencicip kuliner khasnya. Oleh karena kopi nusantara begitu beragam, biasanya saya sempatkan mencicip kopi khas daerah tersebut dan membawa buah tangan berupa kopi. Dari kopi Aceh hingga kopi Toraja semua memiliki ciri khas masing masing. Entah mulai kapan saya tertarik untuk icip-icip kopi berbagai daerah. Kalau gemar kopi memang sejak kecil terbiasa sarapan dengan kopi. Jam masuk sekolah yang pagi membuat Ibu terbiasa menyediakan kopi agar mata bisa bertahan tetap terbuka hingga sekolah berakhir. Kopi Malang yang terkenal salah satunya yang dijual di Pasar Besar. Di sini kopinya digiling di depan pembelinya sehingga aromanya lebih segar dibanding kopi kemasan. Warna kopinya cokelat tidak terlalu gelap. Di desa-desa yang masuk Kabupaten Malang, saya pernah mencicipi kopi jagung. Biji kopi disangrai bersama jagung sebelum ditumbuk. Rasanya gurih dengan tambahan aroma jagung dan kadang ada rasa sangitnya karena ada beberapa biji kopi yang gosong. Kopi Jawa memang dikenal sebagai kopi yang memiliki cita rasa yang ringan dibandingkan kopi nusantara lainnya. Biasanya ada aroma rempah-rempah di dalam kopi Jawa. Tetapi meskipun sama-sama jenis kopi Jawa, daerah tanam juga berpengaruh. Kopi Malang dan kopi Bawen-Semarang, misalnya, sedikit berbeda. Di kopi produksi Malang terkadang ada rasa cokelat samar-samar, di Bawen ada aroma tipis rempah-rempahnya. Jika masa sekolah hanya bisa icip-icip kopi Malang, kopi racik Kediri, dan kopi jagung, wawasan kopi mulai berkembang setelah bekerja dan bepergian ke berbagai daerah. Kopi Bali yang terkenal dengan kopi kintamaninya pun masuk daftar buah tangan. Bahkan misalkan ada rekan kerja yang berkunjung ke Bali, saya nitip kopi Bali, syukur-syukur kalah dikasih gratis hehehe. Rasa kopinya kalau menurut lidah awam saya sedikit mirip kopi Jawa tapi aromanya lebih segar sehingga cocok dipadukan dengan susu atau jahe. [caption id="attachment_419971" align="aligncenter" width="300" caption="Oleh-oleh Kopi Bali"]

14325280581750089316

[/caption] Dari Bali kemudian lompat ke Makassar. Meski belum sempat ke Toraja saya berhasil mendapatkan kopinya. Bersama-sama sirup markisa, kopi toraja pun masuk dus oleh-oleh. Kopi Toraja menurut saya memiliki cita rasa paling asam di antara kopi yang pernah saya cicip. Alhasil, saya biarkan kopi itu tampil sederhana dalam wujud kopi tubruk agar cita rasanya tidak terkontaminasi. Setelah Makassar, saya beruntung mendapat kesempatan ke provinsi paling timur laut, yaitu Aceh. Di sini warganya sangat gemar ke kedai kopi. Bahkan, konon hingga jam 9 pagi di hari kerja kedai kopi pun masih rame hehehe. Saya beli oleh-oleh kopi ini di toko oleh-oleh yang tak jauh dari Masjid Baiturahman. Kadar asamnya tidak setinggi kopi Toraja, tapi paling enak memang dibiarkan tampil sederhana ala kopi tubruk. [caption id="" align="aligncenter" width="240" caption="Kopi China di Jambi (sumber: dewipuspasari.wordpress.com)"]

[/caption] Eh waktu berkunjung ke Jambi, tanpa diminta saya diajak rekan di cabang ke kedai kopi di Jalan Gatot Subroto. Ia menyebutnya kopi China. Meski istilah China di Indonesia sekarang disebut Tionghoa, orang-orang terbiasa menyebutnya kopi China. Entah kenapa disebut demikian saya lupa menanyakannya. Sepertinya karena lokasi kedai tersebut yang di kawasan pecinan. Kedainya sederhana namun ramai saat sore hari sepulang kerja. Kopi China ini biasanya dihidangkan dengan donat dan mie celor. Ukuran cangkirnya lebih tinggi dari rata-rata dan cita rasanya ringan juga segar. Nah, saat ke Belitung saya kontan mengajak teman-teman untuk singgah ke Warung  Kopi Ake. Waktu itu kedainya belum tutup. Kedai ini dulu terkenal dan banyak disinggahi warga setempat dan wisatawan. Sama seperti warga Aceh, warga Belitung juga penggemar berat kopi. Bahkan seperti cerita Andrea Hirata, masyarakat Belitung lekat akan kopi. Di bukunya disebutkan ada tradisi lomba catur sembari mengopi. Di kedai kopi sederhana ini kami memesan dua jenis kopi, kopi hitam dan kopi susu. Cita rasa kopinya ringan dan sedikit kandungan asamnya. Jadi pas dan nikmat ketika dipadukan dengan susu. [caption id="attachment_419591" align="aligncenter" width="240" caption="Kopi Susu ala Belitung"]

1432371108572528941

[/caption] Omong-omong tentang kopi, saya menyesal lupa mencicipi kopi Arabica Mandailing ketika main ke Medan. Padahal kopi ini salah satu favorit  pecinta kopi mancanegara selain kopi asal Lampung. Saya juga merasa kurang lengkap ketika ke Aceh tidak menyesap kopi Luwak Gayonya. Kalau kopi Lampung hanya menikmatinya dari produk Nescafe yang menggunakan kopi dari daerah tersebut. Memang kopi Lampung masuk kopi unggulan Indonesia dan aroma juga cita rasanya disukai oleh penikmat kopi di seluruh dunia. Hemmm jika dihitung-hitung masih banyak varian kopi nusantara yang belum saya cobai. Masih ada kopi Flores Bajawa dan kopi Wamena selain kopi Mandailing, kopi Luwak Gayo, dan kopi Lampung yang belum pernah saya cicipi. Kopi memang tidak sekedar nikmat untuk diteguk, di balik secangkir kopi juga ada cerita tentang tradisi, cerita perjalanan, dan kekayaan alam suatu daerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline