Lihat ke Halaman Asli

Demar Adi

Suka menulis

Cerpen | Di Ujung Tawa

Diperbarui: 12 Maret 2019   02:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: pixabay.com

Riasan putih menutupi kulit wajah. Lipstik tebal dan lebar melewati garis bibir demi menyuguhkan hanya ekspresi senyum. Kostum penuh warna cerah, lengkap dengan wig oranye menyala melengkapi tampilannya.  bentuk tubuh dimanipulasi agar tampak lucu dengan gerak-gerik canggung mengundang tawa.

Ya, tawa orang lain. Orang yang bahkan tak pernah peduli padanya. Dia harus terus menghadirkan tawa, walau hatinya pedih mengingat ananda di rumah menahan sakit tanpa obat.

Hingga suatu saat batinnya lelah. Matanya menangkap orang yang tertawa saat dia sengaja jatuh di atas panggung.

"Tak tahukah mereka, pinggangku sakit hanya supaya mereka tertawa?" bisiknya sedih.

Dia masih berlakon di atas panggung. Di antara gemuruh tawa orang-orang yang senang melihat kekonyolan gerak-geriknya. Sementara dalam hati  masih bingung memikirkan cara menebus obat untuk kesembuhan sang anak.

Tiba-tiba, gairahnya untuk menghadirkan tawa memudar. Geraknya melambat, semakin kaku. Tubuhnya tak mampu lagi memunculkan aura ceria penuh kekonyolan. Panggung dikuasai kesedihan.

Bagaimana dengan penonton? Rasa haus akan tawa mengejek tak terpuaskan. Penonton kecewa. Botol air mineral dilemparkan ke panggung tepat mengenai kepalanya. Sebagian orang tertawa. Merasa lucu akan kesakitan yang terpampang di atas panggung.

Penonton lain seolah dikomando, mulai melemparkan barang ke tengah panggung. Tak hanya botol minuman, kemasan rokok, kotak kue, dan aneka barang lain yang ada di ruangan pertunjukan dilemparkan ke tengah panggung. Dia bagai sasaran tembak di sana. Gerakannya yang terhambat kostum saat berusaha mengelak, justru terlihat lucu. Semua orang tertawa lebih kencang, semakin kencang.

Hati kecilnya berontak  saat riasan putih wajah ternoda akibat luka di pelipis. Dalam kemarahan, dia menghambur ke arah penonton. Memukul, menendang, mencakar siapapun yang terjangkau tangannya. Lolongan penuh duka meluncur keluar dari bibir yang seharusnya selalu tersenyum itu.

***

Riasan berwarna putih itu telah dihapus dari wajahnya. Tanpa pulasan lipstik tebal, bibirnya tampak jelas mengguratkan kesedihan. Pikirannya melayang pada ananda di rumah yang pasti tak akan mendapat obat. Karena sang ayah kini meringkuk di balik jeruji.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline