Lihat ke Halaman Asli

Nurul Azizah

Mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Tanggapan terhadap Kasus Tajikistan dalam Artikel Detiknews

Diperbarui: 25 Juni 2024   23:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan

Tajikistan, negara mayoritas Muslim di Asia Tengah, baru-baru ini mengeluarkan undang-undang yang melarang pemakaian hijab. Alasannya adalah untuk "melindungi nilai-nilai budaya nasional" dan "mencegah takhayul dan ekstremisme." Meskipun Tajikistan memiliki sekitar 96 persen penduduk beragama Islam, undang-undang tersebut membatasi penggunaan "pakaian asing," termasuk hijab atau jilbab. Pelanggar undang-undang ini akan dikenai denda dengan besaran yang bervariasi, tergantung pada status sosial masing-masing individu.

Tujuan penulis menggambil isu ini karena berita ini tentu akan menuai kontroversi dikalangan masyarakat muslim. Dan isu ini cukup unik, karena pada umumnya jika di suatu wilayah terdapat masyarakat mayoritas dan minoritas, tentunya masyarakat minoritaslah yang akan kalah suara. Begitupun sebaliknya, Masyarakat mayoritas akan memegang kendali di sebuah wilayah tersebut.


Isi

Tajikistan adalah negara yang terletak di Asia Tengah dan memiliki sejarah panjang dalam budaya Islam. Pada abad ketujuh, Islam dibawa ke wilayah ini oleh pedagang Arab. Pengaruh Samanid juga memperkuat kehadiran Islam di Tajikistan, dengan negara Samanid yang menjadi pelindung arsitektur Islam dan menyebarkan budaya Islam-Persia di Asia Tengah.

Pada tahun 1929, Tajikistan ditingkatkan menjadi Republik Sosialis Soviet Tajikistan yang merupakan bagian dari Uni Soviet. Republik ini bertahan hingga tahun 1991, ketika Tajikistan memperoleh kemerdekaan setelah pembubaran Uni Soviet. Meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, Tajikistan mencerminkan kompleksitas hubungan antara agama dan politik di kawasan Asia Tengah.

Baru-baru ini Tajikistan mengesahkan undang-undang yang melarang pemakaian hijab. Apa alasannya? Undang-undang ini membatasi penggunaan "pakaian asing" yang termasuk hijab atau jilbab, atau penutup kepala yang dikenakan oleh perempuan Muslim. Meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, Tajikistan mencerminkan kompleksitas hubungan antara agama dan politik di kawasan Asia Tengah.

Dalam penjelasannya, pemerintah Tajikistan menggambarkan langkah yang diambilnya tersebut sebagai tindakan untuk "melindungi nilai-nilai budaya nasional" dan "mencegah takhayul dan ekstremisme." Namun, disahkannya undang-undang ini mengejutkan banyak pihak karena menurut sensus terakhir tahun 2020, Tajikistan memiliki sekitar 96 persen penduduk beragama Islam.

Undang-undang yang melarang pemakaian hijab ini merupakan yang terbaru dari serangkaian 35 tindakan terkait agama yang dilakukan pemerintah Tajikistan. Dampaknya pada kehidupan sehari-hari masyarakat dan perdebatan tentang kebebasan beragama menjadi sorotan dalam konteks ini.

Larangan hijab di Tajikistan memicu berbagai reaksi dari masyarakat, terutama dari kalangan Muslim. Dalam artikel Republika (25/ 06/ 2024) tentang "10 fakta seputar larangan hijab di Tajikistan," banyak warga Tajikistan yang tidak setuju dengan aturan ini. Mereka percaya bahwa hak untuk memilih berpakaian sesuai keyakinan agama adalah hak asasi manusia yang harus dihormati. Beberapa juga khawatir bahwa larangan ini dapat memicu ketegangan sosial dan membatasi kebebasan beragama.

Menurut hemat penulis, memahami bahwa pemerintah Tajikistan berupaya melindungi nilai-nilai budaya nasional dengan melarang penggunaan hijab. Namun, penulis berpendapat bahwa perlindungan nilai budaya tidak harus bertentangan dengan hak individu untuk beragama dan berpakaian sesuai keyakinan. Karena penulis yakin, larangan hijab pasti memicu perdebatan tentang hak asasi manusia dan kebebasan beragama. Penulis memahami kekhawatiran pemerintah terkait ekstremisme, tetapi penting juga memastikan keseimbangan antara keamanan dan kebebasan individu.


Penutup

Keputusan Tajikistan untuk melarang penggunaan hijab memicu perdebatan antara perlindungan nilai budaya dan hak individu. Meskipun pemerintah berargumen untuk melindungi tradisi dan mencegah ekstremisme negaranya, penting untuk menemukan keseimbangan yang menghormati hak asasi manusia. Polemik ini mencerminkan kompleksitas isu agama, budaya, dan politik dalam konteks negara ini . Oleh karena itu, penulis memberi saran kepada pemerintah untuk mencari alternatif kebijakan yang menghormati hak individu tanpa mengorbankan keamanan negaranya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline