Lihat ke Halaman Asli

DEWIYATINI

freelance writer

Tidak Pernah Ada Buku Panduan untuk Berduka

Diperbarui: 21 Mei 2024   22:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pexels.com

Seorang teman bercerita tentang istrinya yang masih berduka atas kehilangan anaknya. Padahal sudah setahun berlalu, dia masih saja berduka. Terakhir, tak hanya hati, badannya ikut terluka.

Si istri tak lagi memperhatikan dirinya. Ia masih terus larut dalam duka. Ia biarkan badannya sakit. 

"Saya sudah bawa dia ke dokter. Dokter bilang karena terlalu banyak pikiran," ujarnya.

Lantas, apa yang harus dia lakukan agar istrinya tak lagi larut dalam duka? 

Saya pernah berada di titik itu. Masih berada di duka yang sama. Saya juga kehilangan anak yang berusia dua tahun. 

Saya masih berduka. Masih sangat berduka. Saya tak akan sepenuhnya pulih dari duka dan luka. Seumur hidup.

Luka yang tersisa itu, rasa bersalah. Seorang ibu yang seharusnya mampu melindungi anak-anaknya, menyesal tak berkesudahan saat anak-anaknya meninggalkan lebih dahulu, terutama karena sakit.

Ia merasa telah gagal menjadi seorang ibu. Gagal melindungi anaknya. Padahal kematian adalah takdir. 

Tapi biarkan dia dengan perasaannya itu. Itu tahapan yang harus dihadapinya untuk bisa menikmati luka dan duka sepanjang hidupnya. 

Selama tiga bulan, saya memilih tidur di tengah rumah. Saya enggan tidur di kamar yang biasanya menjadi tempat tidur bersama malaikat kecil. Saya sering terjaga karena biasanya si anak bayi merengek meminta susu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline