Bagi menantu perempuan, mertua perempuan merupakan sosok yang akan selalu penting bagi suami. Saya menyadari itu dan tak pernah memaksa berada di antara mereka. Itu salah satu hal yang mengganggu relasi mertua menantu.
Sebagai menantu, harus menyadari agar mampu menjaga batas. Tidak peduli tinggal dekat atau jauh, tapi sebagai istri harus jadi orang yang mampu menjadi pengingat bagi suami agar tetap berbakti pada ibunya.
"Seumur hidup, tanggung jawab seorang lelaki tidak berhenti terhadap ibu dan saudara perempuannya," itu yang selalu saya katakan pada suami.
Akan tetapi, saya baru mampu mengatakan hal seperti itu beberapa tahun belakang. Karena di awal, selalu ada pemikiran bahwa menantu perempuan dan mertua perempuan akan bersaing memperebutkan perhatian dari suami dan anak lelaki.
Istri akan merasa dirinya harus jadi satu-satunya yang diprioritaskan oleh suami. Ibunya suami akan merasa bahwa anak lelaki adalah miliknya selamanya, karena ia yang sudah melahirkan.
Pikiran tersebut, sempat bersarang di kepala saya. "Kok, buat ibunya selalu bisa tapi buat aku, pakai mikir dulu dan akhirnya batal," pikir saya.
Pikiran ini merusak persepsi saya terhadap mertua. Padahal seharusnya semakin tua, harus semakin dewasa menghadapi masalah hidup. Berbagai pemikiran harus dikaji dulu agar tidak merusak hari-hari.
Oleh karena itu, saya selalu berusaha untuk menjaga batasan. Tidak hanya dengan mertua, tapi dengan banyak orang di luar keluarga inti.
Kesan bahwa menantu perempuan dan mertua perempuan berebut kasih sayang dari suami mungkin timbul karena adanya dinamika yang kompleks dalam hubungan antara suami, istri, dan ibu mertua. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan persepsi yang merusak relasi mertua menantu ini berdasarkan kesimpulan dari pandangan saya antara lain:
1. Peran Tradisional: