Belasan tahun saya menulis di berbagai platform. Tentunya berbeda antara dulu dan sekarang. Namun, tiba-tiba terbersit dalam benak saya, apa benar menulis itu sebagai penyembuhan atau sumber keresahan?
Tahun-tahun awal menulis, masih dalam proses belajar. Ya, belajar menulis untuk tugas sekolah, kemudian kuliah. Lalu siapa sangka, menulis menjadi pekerjaan pokok.
Di awal, saya resah karena merasa tulisan saya tidak sebagus tulisan pegawai lainnya. Saya menulis hanya untuk memenuhi kuota atau kewajiban sehingga berhak mendapatkan upah bulanan.
Ketika itu, saya banyak menulis keresahan orang lain karena peristiwa tertentu. Apa dari tulisan soal keresahan itu, mereka mendapatkan jawaban? Saya tidak tahu. Tapi satu yang saya sadari, mereka senang karena ada yang mendengarkan keresahan mereka. Bagaimana dengan saya saat itu?
Bagi saya, menulis keresahan orang lain hanya rutinitas. Keresahan yang satu akan berganti dengan keresahan yang lain. Begitu siklusnya. Saya hanya jadi pendengar dan mengubah apa yang saya dengar itu menjadi sebuah tulisan. Yang saya tulis, hanya tentang orang lain.
Hingga pada suatu titik, setelah ratusan tulisan yang saya buat, muncul keresahan dalam diri. Setiap tahun, saya menulis keresahan yang sama. Sebuah siklus yang tidak menemukan akhirnya. Misalnya ketika saya menulis soal banjir lalu rancangan solusinya agar hal serupa tidak terjadi lagi. Kenyataannya, tahun berikutnya terjadi lagi. Lalu apa yang saya tulis tentang rancangan pencegahan itu hanya lips service? Mereka tidak takut, akan ditagih janjinya yang sudah terdokumentasikan dengan tulisan saya?
Ini hanya menulis keresahan yang kemudian menimbulkan keresahan baru. Saya takut lama-lama orang jadi mati rasa dengan keresahan mereka, termasuk saya. Saya takut jadi mati rasa menuliskan keresahan orang lain karena itu tidak memberikan mereka solusi.
Saya pada akhirnya malah takut mengeksploitasi keresahan orang lain, sementara saya sudah kebal. Tidak ada emosi yang saya proses dari keresahan yang saya tulis. Hanya sekadar menulis. Menulis sebagai kewajiban dan rutinitas. Menulis tanpa nyawa.
Yang paling saya takutkan, tulisan-tulisan saya malah akan meningkatkan keresahan yang sudah ada. Misalnya, menulis tentang trauma masa lalu atau mengungkapkan ketidakpastian tentang masa depan bisa memperdalam keresahan yang sudah ada.
Saya sebagai penulis seharusnya mampu memproses emosi, mengekspresikan diri, dan mencari pemahaman, penting juga untuk diingat bahwa hasilnya bisa bervariasi dari individu ke individu. Penting untuk menghargai kompleksitas emosi dan pengalaman setiap orang, serta memperhatikan perbedaan cara orang bereaksi terhadap menulis dalam konteks keresahan. Lalu apa yang harus saya lakukan? Meski saya yakin jawabannya, tetap menulis.***