Hidup itu berpasang-pasangan. Ada kematian, ada kelahiran. Seperti Ramadhan tahun 2012, kehilangan datang bersamaan dengan kehadiran anugerah. Mungkin orang lain akan menilai betapa cepat duka diganti dengan suka cita.
Padahal dari sisi kami yang kehilangan, itu hanya obat sesaat. Duka atas kehilangan akan terus ada. Menetap di hati, selamanya.
Tahun itu, hari ke-23 Ramadhan, aku kehilangan lelaki pertama yang dicintai: Bapak. Usia Bapak terhenti di 58 tahun. Takdir yang tidak bisa ditawar. Tidak bisa ditunda sehari saja, agar Bapak bisa melihat cucu pertamanya. Ya, Bapak berpulang sehari sebelum aku melahirkan anak pertama yang merupakan cucu pertama Bapak.
Ah, tulisan yang membuka luka yang masih menganga meski sudah 12 tahun.
Bapak memang sudah sakit-sakitan. Di akhir masa hidupnya, Bapak tiba-tiba minta dirawat di rumah sakit. Dokter menyatakan ada lapisan usus yang merekat sehingga kudu dipotong dan disambung. Bapak tidak mau. Aku tahu ia mempertimbangkan biaya yang harus kami keluarkan untuk tindakan tersebut. Ia memilih pulang.
Aku masih ingat dengan jelas, itu hari Sabtu, jadwalku masuk rumah sakit untuk melahirkan. Usia kehamilanku sudah 40 minggu, tapi si bayi ogah brojol. Melalui paman, Bapak titip pesan untuk bertemu.
Bertemu Bapak dalam keadaan berbaring menatap langit-langit kamar. Aku memegang tangan Bapak, berusaha menguatkan Bapak. Padahal menguatkan diri sendiri. Potongan kenangan bersama Bapak, berkelebatan. Aku mengucap maaf, demikian Bapak.
Masih menatap langit-langit, Bapak mengatakan sesuatu, tapi bukan untukku. "Ayo, urusan saya sudah selesai," katanya sambil tersenyum.
Aku paham ini sebuah perpisahan. Aku bersyukur kami bisa mengucapkan kata-kata perpisahan. Aku tidak merasa dikhianati ditinggalkan tanpa pesan.
Keesokan harinya, ku mulai perjuangan melahirkan manusia baru. Tapi dia tidak datang juga. Kontraksi hadir karena paksaan obat dan alat. Hingga beberapa detik, tidak ada kontraksi dan detak jantung bayi berhenti. Tepat setelah telpon berbunyi.