Ibu Nano adalah istri dari ayah saya. Juga perempuan yang melahirkan saya dan dua adik saya. Warung adalah jalan ninja Bu Nano lari dari kesulitan finansial. Mungkin sepanjang hidupnya, jika ditulis dalam curriculum vitae, warung akan menempati pekerjaan terlama yang dilakoni Ibu Nano.
Mari dipersingkat saja sebutannya jadi Bu Nano, seperti panggilan kebanyakan orang saat mampir ke warungnya. Periode pertama, Bu Nano memulai membuka warung, kurang saya hapal awal dan kisahnya, karena ketika itu saya masih bayi di bawah tiga tahun. Tapi, itu pilihan yang diambil Bu Nano setelah menikah dengan almarhum Pak Nano.
Nah, periode kedua, Bu Nano membuka warung saya hapal betul dengan detail. Ada beberapa peristiwa yang membuat Bu Nano sempat jeda mengelola warung. Selain karena kami pindah rumah dari kontrakan, juga karena Bu Nano memilih bekerja sebagai operator mesin rajut. Sementara Pak Nano tetap bertahan dengan pekerjaannya sebagai operator mesin tekstil.
Hingga satu hari di tahun 1992, Pak Nano memilih resign karena penyakit asam uratnya yang selalu kambuh. Tidak lama pabrik tempat Pak Nano hampir bangkrut sehingga memindahkan pabrik ke wilayah Rancaekek, Kabupaten Bandung.
Mungkin karena pabrik saat itu banyak yang bermasalah, pabrik tempat Bu Nano ikut-ikutan tutup. Apalagi pabrik rajut Bu Nano tidak berizin. Para pegawainya tidak mendapatkan pesangon yang layak. Mereka diberikan gulungan kain dakron sebagai pengganti pesangon. Jika ingin mendapatkan uang, gulungan kain dakron itu tinggal dijual, yang harganya tidak seberapa.
Tapi pesangon keduanya tidak mungkin sanggup membiayai kebutuhan hidup dan sekolah anak-anaknya. Saat itu, saya hampir menyelesaikan sekolah dasar dan adik saya masih kelas 3 SD. Keduanya memutuskan: mari kembali berjualan seperti dulu.
Di awal, bukan warung yang dibuka. Tapi sebuah roda yang berisikan dagangan warung kelontongan dipajang di depan rumah. Setiap pagi, kami bersama mengeluarkan dan menata barang dagangan. Malam harinya, kembali bersama memasukkan barang dagangan dan menatanya di ruang tengah rumah.
Sebagian kamar di rumah, disewakan pada pegawai pabrik yang bekerja dengan Pak Nano. Baru setelah mereka pindah seiring kepindahan pabrik ke Rancaekek, satu kamar dirombak menjadi warung. Warung masih ditutup dengan bilah kayu yang ada nomor-nomornya itu.
Barang dagangan warung semakin lengkap. Bahkan Bu Nano menambahkannya dengan sayur-mayur. Bahkan saat saya SMA, Bu Nano berjualan mie baso. Untuk tambah-tambah biayai kebutuhan sekolah karena adik saya juga masuk SMP. Sayang tidak bertahan lama, karena banyak tukang bakso keliling dan cuanki yang jadi saingan.
Saat saya selesai SMA, kebutuhan keuangan semakin naik drastis karena saya masuk kuliah dan adik saya masuk SMA. Ditambah ada adik bungsu yang akan masuk SD. Solusinya, Bu Nano berjualan nasi dan lauk pauk. Dengan demikian, sayuran yang tidak terjual tidak akan menjadi sampah. Karena selama ini, sisa sayuran ini Bu Nano sering bagikan ke tetangga.