Lembaga dunia PBB untuk pengurangan risiko bencana atau UN-DRR pada tahun 2015 telah menerbitkan kerangka kerja pengurangan risiko bencana atau Sendai Framework for Disaster Risk Reduction (SFDRR).
Di dalamnya terdapat empat prioritas aksi, yaitu pengetahuan risiko bencana, tata kelola risiko bencana, investasi untuk ketangguhan, kesiapsiagaan untuk respon yang lebih efektif dan membangun kembali pasca bencana yang lebih baik.
Kendati pengetahuan akan risiko bencana menjadi prioritas aksi yang pertama, komunikasi risiko bencana kepada masyarakat bisa menjadi tantangan tersendiri. Hal ini terjadi karena berbagai faktor.
Pertama, tidak ada pengetahuan sebelumnya mengenai risiko. Irina Rafliana, peneliti dari LIPI menyampaikan dalam tulisannya bahwa masyarakat Indonesia sudah mengenal istilah bencana sejak lama, hal ini terbukti dari adanya bahasa daerah untuk istilah tersebut dalam berbagai bahasa daerah.
Namun tidak ada bahasa daerah untuk istilah risiko. Masyarakat pada umumnya tabu untuk membicarakan risiko suatu bencana yang belum pasti kejadiannya. Dengan demikian, istilah risiko adalah terminologi dan pengetahuan baru bagi sebagian besar masyarakat.
Kedua, risiko bencana seringkali berhubungan dengan persoalan ilmiah/teknis. Akibatnya, banyak istilah ilmiah yang sulit dipahami, tetapi harus atau terpaksa digunakan. Kondisi ini tentu saja akan menyulitkan masyarakat awam yang tidak memahami persoalan teknis dan ilmiah, mereka akan makin sulit untuk mengerti.
Selain itu, jangkauan komunikasi mengenai risiko bencana kurang luas. Seperti bidang keilmuan lainnya, para peneliti akan menulis hasil-hasil penelitiannya dalam jurnal ilmiah yang aksesnya terbatas dan hanya dibaca sesama peneliti. Gabungan penggunaan istilah ilmiah dan jangkauan yang terbatas pada akhirnya akan mengurangi peluang masyarakat untuk semakin paham akan risiko bencana.
Ketiga, berkaitan dengan bencananya. Tiap bencana memiliki periode ulang yang berbeda, ada yang tahunan, ada pula yang terjadinya melebihi harapan hidup manusia, bahkan bisa terjadi dalam beberapa generasi.
Selain itu, masyarakat menerima pendidikan kebencanaan yang berbeda-beda. Akibat dari kondisi ini, persepsi masyarakat terhadap bencana pun tidak sama, sehingga tanggapan mereka pada bencana pun akan berbeda-beda pula.
Keempat, bencana adalah urusan semua pihak. Namun demikian, masing-masing pihak tersebut memiliki pekerjaan rutin, anggaran terbatas, dan fokus pada pekerjaan lain.
Pada intinya, banyak persoalan lain yang dihadapi oleh para pihak dan harus diselesaikan sesegera mungkin. Akibat dari kondisi ini, maka lagi-lagi persoalan komunikasi risiko bencana dan peningkatan pengetahuan akan risiko bencana kurang mendapatkan dukungan.