Lihat ke Halaman Asli

“Quo Vadis” Sanksi Hukum

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



“Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh!” Demikian satu adagium yang sudah sejak lama membekas di hati bangsa ini. Dalam persepsi lain perlu dipertanyakan kembali maknanya. Apabila bentuk muka saja sulit di cari kesamaan dari raut wajah adalah sangat mungkin merupakan katalisator menghadirkan wajarnya ruangan heterogenitas kultur, pendapat. Jika heterogenitas itu sudah diakui, mengapa terjadi tindakan kekerasan antar bangsa sendiri ? Semangat persatuan yang selama ini di ucapkan dalam butir Pancasila seolah-olah menjadi koreksi bagi bangsa ini.

Kekerasan terjadi dimana-mana tanpa memandang apapun. Tindakan-tindakan radikalisme merajalela di seantero negeri. Hal yang paling memungkinkan ini terjadi adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap negara dalam mewujudkan kesejahteraan. Fokusnya pemerintah pada masalah-masalah kontemporer tanpa memandang masalah premanisme, diskursus moral, misorientasi persatuan bangsa menjadi masalah urgent. Mengakibatkan masyarakat mampu bertindak liar. Tanpa memandang kerasnya sanksi hukum dan tanpa adanya tekanan. Para aparat hukum pun tidak mampu mengimplementasikan kerasnya hukum itu karena sudah adanya marak praktek “dagang hukum”.

Sebenarnya, (Soerjono Soekanto, 1978: 6) Fungsi hukum sebagai social engineering yaitu sebagai alat atau instrumen untuk mengatur masyarakat, menyelenggarakan tata tertib dan keadilan di dalam masyarakat, untuk menyelenggarakan kebahagiaan material dan spiritual bagi seluruh anggota masyarakat,untuk mencapai tujuan hukum terciptanya kedamaian dalam hidup bermasyaraka t . Selain itu (Ronny H .S 1980: 6) Hukum juga berfungsi integratif sehingga dapat mengurangi konflik-konflik dan memperlancarkan interaksi pergaulan so s i a l . Rasanya sudah mulia fungsi hukum negeri kita, tinggal bagaimana menegakkannya di masyarakat.

Memperhatikan tindakan kekerasan yang terjadi, sejarah tindakan kekerasan itu ternyata bukan hasil pengkatrolan atau sekedar turun temurun dari pengalaman dahulu. Tetapi lebih banyak tumbuh dari diri sendiri. Karena adanya gejolak jiwa yang tidak terkontrol akibat kinerja pemerintah. Kontrol pemerintah bila di perhatikan lemah. Sehingga seolah-olah aparat hanya menjadi lambang adanya hukum di negeri ini. Tanpa adanya tekanan (pressure) terhadap masyarakat yang bertindak anarki.

Ke depan, tentunya secara konsisten diperlukan tindakan tegas dari aparat negara dan implementasi sanksi hukum tegas kepada masyarakat yang bertindak radikal. Bahwa tindakan kekerasan adalah tindakan kriminalitas yang secara hukum dapat dipidana. Rekonstruksi, nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika dalam kehidupan bermasyarakat, beragama sehingga tercipta kerukunan antar masyarakat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline