Ade Armando mungkin tak akan menyangka, bahwa status yang ditulis di akun Facebook-nya pada 23 Mei 2015 akan menyeret dirinya ke ranah hukum. Status "Allah bukan orang Arab...." yang dipermasalahkan oleh Johan Khan yang kemudian melaporkannya ke pihak Polda Metro Jaya atas dasar penghinaan agama. Tepat hari ini, pakar komunikasi Universitas Indonesia tersebut dipanggil oleh pihak yang berwajib selaku saksi atas pelaporan dirinya.
Menyimak kasus yang tengah membelit Ade Armando di atas, setidaknya ada dua hal yang patut untuk digarisbawahi. Pertama, kebiasaan mayoritas masyarakat Indonesia, umumnya, dan muslim Indonesia, khususnya, yang lebih membaca suatu hal secara tekstual dan bukan kontekstual.
Status Ade Armando, bila dibaca secara tekstual, memang tersurat bagai melecehkan Tuhan dengan segala status Keagungan-Nya sekaligus merendahkan derajat Tuhan ke tingkat makhluk-Nya. Bagi orang yang "berdarah panas" dengan semangat keagamaan yang meletup-letup namun kosong akan memaknainya dengan "Allah bisa jadi berasal dari kaum tertentu namun Ia bukan dari kaum Arab".
Sungguh pemaknaan yang dangkal, yang lahir dari pemahaman keagamaan yang dangkal pula. Bagai menggali sebuah sumur, pemaknaan demikian tidak akan menghasilkan kejernihan kecuali air yang keruh.
Susahnya, umat selalu terjebak kepada lingkaran yang sama. Berulangkali terjerembab pada lubang yang sama untuk kesekian kalinya. Pembacaan yang tekstual dan sepotong-potong! Tentu masih segar dalam ingatan kita tatkala pakar tafsir Indonesia, Prof Quraish Syihab, pernah mengalami hujatan yang sama dengan dituduh telah merendahkan derajat Nabi Muhammad Saww setahun silam. (Baca: Politisasi Tafsir Quran Quraish Syihab, Dewa Gilang, Kompasiana).
Pemaknaan yang berbeda akan kita dapatkan ketika status Ade Armando ini kita beda secara kontekstual. Status Ade Armando itu ditulis untuk mengomentari polemik bacaan Alquran dengan langgam Jawa, yang oleh sebagian umat divonis terlarang. Atas konteks polemik itulah Ade Armando menulis status "Allah bukan orang Arab".
Dengan membaca status itu secara kontekstual, maka sangat "jauh panggang dari api" bila Ade Armando dituduh telah menistakan agama. Dengan statusnya, Ade ingin mengemukakan pendapatnya bahwa membaca Alquran dengan langgam Jawa bukanlah sesuatu yang terlarang.
Saya termasuk salah satu yang membaca status Ade Armando. Dan saya tidak ada persoalan mengenainya. Pemahaman saya, meski Alquran diturunkan dalam bahasa Arab (baca:bahasa kaum yang ada di sekitar ketika Alquran diturunkan), namun Alquran tidaklah turun di ruang hampa. Ia (Alquran) turun kepada manusia yang berbudaya, berbangsa-bangsa. Olehnya, meski Ia harus tetap berbahasa Arab, namun bukan hal yang terlarang andai Alquran dibaca dengan langgam yang dikenal oleh manusia berbudaya tersebut.
Kedua, hal yang perlu digarisbawahi, kasus Ade Armando ini, untuk kesekian kalinya, membuktikan bahwa betapa pasal penghinaan agama adalah pasal karet. Pasal itu senantiasa bisa ditarik semaunya tergantung kepentingan. Dan kasus Ade Armando adalah yang kesekian kalinya atas nama pasal karet tersebut.
Bukankah ucapan "ayat- ayat dalam kitab suci harus tunduk pada ayat-ayat konstitusi" yang pernah dilontarkan oleh salah seorang tokoh juga bisa ditarik oleh pelbagai kepentingan dengan mengatasnamakan "penghinaan agama".
Walhasil, saya teringat dengan salah satu kisah, yang entah shahih atau tidak, bahwasanya konon Nabi Musa pernah menempeleng hamba sahaya yang berdoa dengan kalimat yang menyediakan Tuhan dengan makhluk-Nya. Hamba sahaya itu berdoa ingin "menyisir rambut Tuhan", "membasuh kaki-Nya". Nabi Allah Musa murka mendengar doa itu.